UTS

M. Naufal Agustian Hidayatulloh 2003401051019

M. Naufal Agustian Hidayatulloh 2003401051019

oleh 2003401051019 M.Naufal Agustian Hidayatulloh -
Jumlah balasan: 0

Diskusi 2
Pemikiran Teologis Al-Maturidi 1.  Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda.  Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya.  Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya.  Penjelasan yang berbeda tentang ini diberikan oleh Syekh Abu Zahrah.  Kata Abu Zahrah  (1946:207-208), Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim.  Pendapat Maturidi itu menurut Abu Zahrah sebenarnya mendekati paham Multazilah atau hampir sama dengan Mu'tazilah. Ibrahim Madkur mengemukakan bahwa kaum Maturidiyyah menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dari sifat-sifat wujud yang baru. Selanjutnya dikemukakan sebagai berikut: فالله عالم بعلم لا كالعلوم وقادر بقدرة لا كالقدر (Maka Allah mengetahui dengan ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu yang lain, dan berkuasa dengan kekuasaan yang tidak seperti kekuasaan-kekuasaan lain). Sementara kaum Asy'ariyyah memandang Al-Baqa’ sebagai sifat tambahan atas zat ( (زائدة على الذاتmaka kaum Maturidiyyah mengingkarinya. Dalam keterangan Ibrahim Madzkur disebutkan juga bahwa kaum Maturidiyyah seperti halnya kaum Asy’ariyah, menetapkan  sifat-sifat Zatiyah seperti: ‘ilm, qudrah, iradah dan lain-lain serta memandang sifat-.sifat tersebut sebagai makna qadim yang beridiri pada zat Allah, tapi sifat-sifat itu bukanlah zatnya dan bukan pula lain dari zat-Nya (A. Aziz Dahlan, 1987:113). Demikianlah kita jumpai dua penilaian.  Di satu sisi menyatakan, bahwa Maturidi sepaham dengan Asy’ariyyah dan di sisi lain menyatakan, bahwa Maturidi hampir sepakat dengan Mu’tazillah. 
  2.Tentang Perbuatan Manusia Kalau menurut paham Mu’tazilah, yang mengambil dari faham Qadariyah, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri.  Sedangkan faham Asy'ariyah yang dekat dengan faham Jabariyah menyatakan, bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan al-Kasb (perolehan) dari manusia, yang dengan adanya al-Kasb ini mengakibatkan adanya taklif, pahala serta siksa.  Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia adaah diciptakan Allah sesuai dengan firmannya:     

3.Tentang Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Al-Maturidi akal manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah.  Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumu.  Sebab hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya.  Begitu pula akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk.  Akan tetapi akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk (Al-Ahkam at-taklifiyyah) Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202).

Diskusi 3
Quraish Shihab juga menjelaskan, bahwa ada empat macam keesaan yang dimiliki Allah. Menurut para ulama, keesaan pertama, yaitu zat. Artinya Allah tidak terdiri dari bagian-bagian, namun satu tunggal. 

"Kedua, sifat. Walau dalam nama sifat itu sama dengan yang disandang oleh manusia, tetapi substansinya berbeda dengan sifat dan kadar makhluk lainnya," ungkapnya. 

Sementara, keesaan dalam perbuatan, artinya bahwa semua yang terjadi di dunia ini karena diciptakan oleh Allah SWT. Tidak ada yang bisa tanpa seizin-Nya. 

Ketiga keesaan ini menurut Quraish Shihab melahirkan keesaan dalam beribadah. 

"Keesaan dalam beribadah kepadanya menjadikan seseorang melakukan sesuatu demi karna Allah. Atau demi apa yang diperintahkan dan seizin Allah," ucap cendikiawan muslim ini diakhir renungannya.

Kebebasan berkehendak

Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia, Imam Ali menjawab, “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya,) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan memilih (takhyīran)” (Musawi, 2004).

Dengan berdasarkan keterangan dari Imam Ali di atas, menyiratkan bahwa sebenarnya kebebasan adalah fitrah manusia. Manusia diberikan kebebasan mutlak untuk memilih dan mengambil jalan hidupnya. Sebab, jika manusia terkurung secara ketat oleh “qadar” atau takdir Tuhan, maka secara logis manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, sehingga tidak berguna para Nabi atau ulama menerangkan kepada manusia.

Dalam pandangan Islam, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas. Ia bebas untuk berpikir, bertindak, dan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya. Ia bebas pula dalam mencari kebahagiaannya. Sebab, hanya dengan kebebasan kita meyakini tentang tanggung jawab dan pilihan atas tindakan manusia.

Akal dan Wahyu

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang di dalamnya

terdapat berbagai macam pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari akal, dan

di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi. Tidak

sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak

berfikir dan memepergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai dalam Al-

Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya ‘aqala saja.

1

Al-Quran menyebutkan kurang lebih 49 kata ‘aql yang muncul secara

variatif. Semua kata tersebut diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan

tak pernah disebut dalam bentuk masdar, akan tetapi semuanya berasal dari

kata dasar ‘aql.

Diskusi 4.
Pemikiran Teologis Al-Maturidi 1.  Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda.  Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya.  Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya.  Penjelasan yang berbeda tentang ini diberikan oleh Syekh Abu Zahrah.  Kata Abu Zahrah  (1946:207-208), Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim.  Pendapat Maturidi itu menurut Abu Zahrah sebenarnya mendekati paham Multazilah atau hampir sama dengan Mu'tazilah. Ibrahim Madkur mengemukakan bahwa kaum Maturidiyyah menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dari sifat-sifat wujud yang baru. Selanjutnya dikemukakan sebagai berikut: فالله عالم بعلم لا كالعلوم وقادر بقدرة لا كالقدر (Maka Allah mengetahui dengan ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu yang lain, dan berkuasa dengan kekuasaan yang tidak seperti kekuasaan-kekuasaan lain). Sementara kaum Asy'ariyyah memandang Al-Baqa’ sebagai sifat tambahan atas zat ( (زائدة على الذاتmaka kaum Maturidiyyah mengingkarinya. Dalam keterangan Ibrahim Madzkur disebutkan juga bahwa kaum Maturidiyyah seperti halnya kaum Asy’ariyah, menetapkan  sifat-sifat Zatiyah seperti: ‘ilm, qudrah, iradah dan lain-lain serta memandang sifat-.sifat tersebut sebagai makna qadim yang beridiri pada zat Allah, tapi sifat-sifat itu bukanlah zatnya dan bukan pula lain dari zat-Nya (A. Aziz Dahlan, 1987:113). Demikianlah kita jumpai dua penilaian.  Di satu sisi menyatakan, bahwa Maturidi sepaham dengan Asy’ariyyah dan di sisi lain menyatakan, bahwa Maturidi hampir sepakat dengan Mu’tazillah. 

  2.Tentang Perbuatan Manusia Kalau menurut paham Mu’tazilah, yang mengambil dari faham Qadariyah, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri.  Sedangkan faham Asy'ariyah yang dekat dengan faham Jabariyah menyatakan, bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan al-Kasb (perolehan) dari manusia, yang dengan adanya al-Kasb ini mengakibatkan adanya taklif, pahala serta siksa.  Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia adaah diciptakan Allah sesuai dengan firmannya:      

 3.Tentang Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Al-Maturidi akal manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah.  Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumu.  Sebab hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya.  Begitu pula akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk.  Akan tetapi akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk (Al-Ahkam at-taklifiyyah) Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202).

Diskusi 5.
Dalam tradisi NU, bermazhab itu ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab secara manhaji. Bermazhab seara qauli adalah mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah mengikuti mazhab dari segi pola pikir (manhaj al-fikr), sebagai sebuah proses bukan produk.

Bermazhab scara qauli tidak selamanya bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum (produk hukum) oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst), sementara zaman terus berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.

Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji, atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas --untuk tidak mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh.

Diskusi 6.
A. Tokoh Imam Mazhab dalam fiqih NU
1. Imam Syafi'i
2. Imam Hanafi
3. Imam Hambali
4. Imam Maliki

B. Sejarah perkembangan Mazhab
Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas Ijitihad (pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika para sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rosulullah.[9]

C. Menurut Syekh Manna, para ulama telah menyebutkan bahwa indikasi pertama mengenai hal ini berasal dari kaum Syiah. Hal ini sama sekali belum pernah terjadi pada masa Rasulullah dan juga Tidak Pernah terucap dari lisan seorang sahabat pun. Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka, kata Syekh Manna, semata hanya merupakan perkara Ijtihad dalam agama, yang mana setiap mereka mengingkari kebenaran dan mengajak kepadanya, hanya saja pemalsuan itu muncul dari perselisihan politik yang terjadi pada masa tabiin.
Menurut Syekh Manna, ada beberapa faktor penting kenapa muncul pemalsuan hadist. Pertama karena perselisihan politik. Hal ini merupakan penyebab dasar terjadinya pendustaan atas Rasulullah. Imam Malik pernah ditanya mengenai Rafidhah, beliau pun menjawab. "Jangan berbicara dengan mereka, dan jangan meriwayatkan dari mereka, mereka adalah pendusta."

Diskusi 7
1. MAZHAB HANAFI
    Dasar yang dipakai oleh mazhab Hanafi adalah Alquran, Sunnah, dan fatwa sahabat yang merupakan penyampai. Mazhab ini juga menggunakan qiyas sebagai dasarnya dan juga istihsan, yaitu qiyas yang berlawanan dengan nas. Imam Hanafi juga menggunakan ijma, yaitu kesepakatan para mujtahid mengenai suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.

Selain itu, ia juga menggunakan dasar urf, yaitu adat kebiasaan orang Islam dalam satu masalah tertentu yang tidak disebut oleh nas Alquran.

Penyusun pendapat, fatwa, dan hadis dari Imam Hanafi adalah murid-muridnya, yaitu Yakub bin Ibrahin al-Ansari atau Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Mereka menyusun kitab yang berisi masalah fikih mazhab Hanafi.

2. Imam Al Maliki

Dasar Ijtihad atau Sistematika sumber Istinbāţh Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik.

Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) adalah Atsar Ahli Madinah, Mashlahah al-Mursalah (istishlâh), Qaul Shahâbi (Fatwa sahabat), Khabar Ahad, al-Istihsân, Sadd Al-Dzarâi, Istishâb, Syaru man Qablanâ (Syariat sebelum Islam).

3. Imam Syafi'i

Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab ushul fiqh selalu berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan dalil-dalil syara’ yang diperselisihkan. Beberapa istilah populer dari dalil syara’ atau sumber hukum itu antara lain adalah ‘adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati), mashadiru al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang disepakati), ‘adillah al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), mashadiru al-ahkam al-mukhtalaf alaiha (sumber-sumber hukum yang diperselisihkan). Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama ahl al-sunah ada empat, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas.

4. Imam Hambali
    Al-Qur'an dan al-Sunnah al-Shahih
Jika beliau telah menemukan nash, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits al-Shahih, maka dalam menentukan hukum Islam adalah dengan nash tersebut meskipun ada faktor-faktor lain yang boleh jadi bisa pertimbangan bahan pertimbangan.

Fatwa Para Shahabat Nabi SAW
Jika tidak ditemukan dalam nash yang jelas, maka beliau menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi SAW yang tidak ada perselisihan diantara mereka. Apabila terjadi perselisihan, maka yang diambil adalah fatwa-fatwa yang beliau pendang lebih dekat kepada nash, baik al-Qur'an maupun al-Hadits.

Al-Hadits al-Mursal al-Hadits al-Dla'if
Jika dari ketiganya tidak ditemukan, maka beliau menyatakannya dari dasar al-Hadits al-Mursal atau al-Hadits al-Dla'if, sebab yang dimaksud dengan al-Hadits al- Dla'if menurut Ahmad ibn Hanbal adalah karena al-Hadits ini terbagi menjadi dua, yaitu, Shahih dan Dla'if, bukan Shahih, Hasan, dan Dla'if seperti kebanyakan ulama Al-Hadits lain.

Al-Qiyas
Jika dari semua sumber di atas tetap saja ditemukan, maka Imam Ahmad ibnu Hanbali menentukan hukum Islam dengan mempergunakan al-Qiyas dan Mashlahah Mursalah, terutama di bidang sosial politik.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan masalah hukum “halal” dan “haram” beliau sangat teliti dalam mengkaji beberapa al-Hadits dan sanadnya yang terkait dengannya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima al-Hadits yang berkaitan dengan masalah “Akhlaq”, Fadla'il al-a'mal atau adat istiadat yang terpuji, dengan persyaratn sebagai berikut: “Jika kami telah menerima al-Hadits Rasulullah yang menjelaskan masalah“ Halal-Haram ”atau perbuatan sunnah hukum-hukumnya, maka aku melakukan penelitian al-Hadits secara ketat dan cermat, begitu juga sanad-sanadnya. Tetapi jika berkaitan dengan fadlail al-a'mal atau tidak berhubungan dengan hukum, kami agak longgar ".