kajian ke 6

Kajian ke 6

Kajian ke 6

oleh 2003401051029 MUJIBUR ROHMAN -
Jumlah balasan: 0

Madzhab Hanafi Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas. Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak. Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah. Madzhab Maliki Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut. Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir. Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul. Madzhab Syafi’i Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i. Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain. Madzhab Hanbali Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.

Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada banyak orang (rahmatan lil lam/em>n). Dalam sejarah pengkajian hukum Islam dikenal beberapa madzhab fiqih yang secara umum terbagi dua, yaitu madzhab sunni dan maab shii. Di kalangan Sunni terdapat beberapa madzhab, yaitu H{anafi, Maliki, Sha>fii dan H{anbali. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua madzhab fiqih, yaitu Zaidiyah dan Jafariah. Namun yang masih berkembang kini hanyalah madzhab Jafariah dan Shiah Imamiyah.


Terjadinya perbedaan dalam madzhab disebabkan oleh terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama, perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum. Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya.

Ahlul Ra’yi adalah sebuah gerakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad, Irak, yang dalam mengambil sebuah fatwa terhadap ilmu fiqih lebih dominan berpikir dengan akal daripada hadist. Tetapi, setiap fatwa yang dikemukakan tidaklah menyimpang dari nilai-nilai keislaman.


Menurut Muhammad Ali Sayis bahwa munculnya aliran ini dipengaruhi oleh tiga faktor:


Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ijtihad.

Minimnya mereka menerima hadist nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memilih hadist yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Irak seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga minim menggunakan hadist sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ijtihad. Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadist dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang ketat. Sehingga mempengaruhi jumlah hadist yang mereka gunakan sebagai dasar pengambilan sebuah fatwa. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini disebabkan oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadist yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.

Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Irak, seperti; budaya Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya.Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ijtihad.

Terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kelindan satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada umumnya lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih merupakan panduan praktis tentang tata cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal (berhubungan dengan Tuhan) yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal (berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan) yang disebut dengan muamalah dalam arti yang luas.


Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu nahkumu biddhawahir (kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak). Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang digarap oleh ilmu tasawuf.


Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada (rukun). Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib.


Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai ketentuan umum (dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi: keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya keraguan.


Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara (proses) bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih mengelompokkan jenis-jenis produk roti.  


Perbedaan secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai berikut:


Ushul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang serupa.

Secara hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih, sementara munculnya kaidah fikih setelah fikih.

Objek kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama dengan fikih, yakni perbuatan orang mukallaf.

Ushul fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih muncul melalui pendekatan induktif.

A. Imam Hanafi (Abu Hanifah)

1. Tahun Kelahiran Abu Hanifah

Abu hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijriah bersamaan

(659 Masehi). Sebagian para ahli sejarah mengatakan bahwa ia

dilahirkan pada tahun 61 Hijriah, pendapat ini sangat tidak

berdasar, karena yang sebenarnya ialah paada tahun 80 Hijriah

(659 M) menurut pendapat yang pertama.

Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu

Hanifah, karena ia mempunyai seorang putra bernama Hanifah.

Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi

ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/ Ayah), sehingga ia

dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.

B. Imam Malik

1. Kelahiran Malik

Imam Malik ialah seorang Imam dari kota Madinah

dan imam bagi penduduk Hijaz. Ia seorang dari ahli fiqih yang

terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha

Madinah . beliau berumur hampir 90 tahun. 

Dia meninggal dunia pada masa pemerintahan Harun Al-

Rasyid di masa pemerintahan Abbasiyah. Zaman hidup Imam

Malik adalah sama dengan zaman hidup Abu Hanifah.

C. Imam Syafi’i

Imam syafi‟I ialah imam yang ketiga menurut susunan

tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukung terhadap ilmu hadits

dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua

hijriah.

1. Kelahiran dan Keturunan Imam Syafi‟i

Imam Syafi‟I dilahirkan di kota Ghazzah dalam palestina

pada tahun 105 Hijriah. Menurut suatu riwayat, pada tahun itu

juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam Syafi‟i wafat di Mesir pada

tahun 204 H (819) M. Namun lengkap Imam Syafi‟i adalah Abu

Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Syafi‟i Ibn Saib

Ibn Ubaid Ibn Qushay Al- Quraisyiy.

D. Imam Hambali

Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau Ahmad bin

Hambal adalah imam yang keempat dari para fuqaha Islam.

Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan

tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang

hidup semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya. Beliau

imam bagi umat Islam seluruh dunia, juga imam bagi Darul

salam, mufti bagi negeri Irak dan seorang yang alim tentang

hadits-hadits Rasulullah SAW. Juga seorang yang zuhud dewasa

itu, penerang untuk dunia dan sebagai contoh dan teladan bagi

orang-orang ahli Sunnah, seorang yang sabar di kala menghadapi

percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.

Almarhum Prof KH Mustafa Ali Yaqub, yang pernah menjadi guru besar ilmu hadits Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta dan imam besar Masjid Istiqlal, dalam sebuah wawancara dengan Republika, mengungkapkan, berdasarkan sejarah ilmu hadits, hadits palsu baru muncul pada dekade keempat dari tahun Hijriyah—sekitar 40-an H—setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan.


Usman terbunuh pada 35 H dan dimakamkan pada 36 H. Jadi, pada akhir 35 H ia wafat dan dimakamkan di hari berikutnya, awal tahun 36 H. Sejak itulah, timbul kelompok-kelompok politik. Bahkan, DR Subulus Shaleh membuat angka yang pasti, pemalsuan hadits terjadi mulai 41 H.


Menurutnya, orang pertama atau kelompok pertama yang membuat hadits palsu berasal dari kelompok-kelompok politik. Guna mendukung pendapatnya, para politikus di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib berupaya mencari ayat-ayat Alquran. Para politikus itu berupaya membentengi pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Alquran. Namun jika tak ditemukan, mereka mencari hadits Nabi.


Karena tidak ada hadits Nabi SAW untuk mendukung pendapat mereka, lalu mereka membuat hadits palsu, ujar pimpinan Ponpes Darus-Sunnah itu. Bahkan, Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) sempat menuturkan, pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi SAW berdiri bulu romanya.


Namun setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar hadits, mereka selalu bertanya, dari manakah hadits itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahlu Sunnah, hadits itu diterima sebagai dalil dalam agama Islam. Dan apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadits itu ditolak.


Ia mencontohkan, ada kelompok politik yang mengultuskan Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu membuat hadits palsu. Fanatisme buta kelompok itu terhadap Ali, membuat mereka membuat hadits palsu. Aliyyun khairul basyar, faman ankara faqad kafara. (Ali adalah sebaik-baiknya manusia, barang siapa yang tidak percaya, dia telah kafir). Nah, ini jelas sekali yang membuat (hadits—Red) adalah orang yang fanatik dan mengultuskan Ali, papar Kiai Ali Yaqub.


Seiring bergulirnya waktu, pemalsuan hadits juga muncul di kalangan kelompok tasawuf atau kaum sufi. Bahkan, kata Kiai Ali Yaqub, pemalsuan hadits di kalangan ini begitu dominan. Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendorong kelompok tasawuf pada zaman itu membuat hadits palsu.


Pertama, dari sisi tujuan. Mereka menganggap, ketika umat sudah bobrok akhlaknya, perlu ada dorongan untuk beramal saleh. Untuk merangsang beramal saleh, mereka membuat hadits-hadits palsu. Kedua, dari segi metode. Metode penetapan hadits orang sufi tidak sama seperti ahli hadits secara umum. Mereka tidak terikat dengan persyaratan hadits. Misalnya, harus sanadnya terdiri atas orang-orang yang kredibel. Mereka tidak menggunakan seperti itu. Mereka menggunakan dua metode.


Metode pertama, kata dia, disebut sebagai metode al-Kasyf, yakni suatu pengetahuan yang diperoleh tanpa pembelajaran, seperti ilham. Dengan menggunakan metode al-Kasyf, sebuah hadits bisa dianggap sahih, meskipun para ahli hadits menyatakan tidak sahih. Karenanya, jumlah hadits palsu di kalangan kaum sufi banyak sekali.


Kedua, lanjut Kiai Ali Yaqub, mereka menganggap Nabi masih sering datang ke dunia sehingga banyak menemui orang-orang tertentu. Akhirnya, lanjut dia, banyak hadits muncul setelah Nabi SAW wafat. Hadits-hadits palsu semakin berkembang pesat di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah.


Guna membendung dan menghentikan peredaran hadits palsu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lalu memerintahkan para ahli melakukan pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadits. Namun, hingga kini masih banyak hadits-hadits palsu yang beredar dan menjadi pegangan sebagian umat. Meski jumlahnya sudah tak terlalu banyak lagi, keberadaan hadits-hadits palsu berpotensi untuk membuat umat tergelincir dalam kesesatan.