UTS

UTS Himatul Faizah Nim:2003401051025

UTS Himatul Faizah Nim:2003401051025

oleh 2003401051025 HIMATUL FAIZAH -
Jumlah balasan: 0

"Diskusi 1"

Aliran Maturidiyah ini dinisbatkan kepada Imam al-Maturidy. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur al-Maturidy. Dia lahir di kota Maturid, Samarkand.

Aliran al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda dengan aliran al-Asy’ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran Al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.

Untuk mengetahui sistim pemikiran al-Maturidy, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ary dan aliran Mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-Asy’ary maupun al-Maturidy kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah.

Perbedaannya adalah al-asy’ary mengadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu Bashrah dan Iraq pada umumnya, sedang al-Maturidy menghadapi Mu’tazilah dinegerinya yaitu samrkand dan Iran pada umumnya.

Pada perkembangan selanjutnya al-Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan. Yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara yang dipelopori oleh Bazdawi.

Pemikiran teologi Al Maturidiyah:

1. Akal dan wahyu.

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur'an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al Asyari.

2. Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan.

Perbuatan dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut Al Maturidi bukan berarti dalam hal ini Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang dengan kehendak-Nya semata. Hal ini karena Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya.

3. Melihat Tuhan.

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al Qiyamah ayat 22 dan 23.

"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat"

4. Pelaku Dosa Besar.

Aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkann sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.

5. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia.

Aliran maturidiyah Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang sebagai kewajiban Tuhan.


"Kajian 2"

1. Biografi

Imam Abu Mansur Al-Maturidi, atau lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-Hanafi adalah imam aliran ahli aqidah Maturidiyyah serta seorang ahli ilmu kalam.

Abu Manshur al-Maturidi dilahirkan di desa Matrid, sebuah desa di daerah Samarkand yang sekarang termasuk bagian dari negara Uzbekistan. Mengenai tahun kelahirannya, Dr. Muhammad Ayyub menyatakan Abu Manshur al-Maturidi lahir sekitar sebelum tahun 238 H. Ia hidup di zaman kemajuan daerah Asia Tengah sebagai pusat peradaban Islam. Di antara ulama besar yang sezaman dan berasal dari satu daerah dengan beliau adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur.

2. Di antara pemikiran-pemikiran Al-Maturidi dalam masalah

teologi adalah :

1.) Mengenai al-Qur’an

Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari demikian

juga dengan Abi Hanifah bahwa Kalam Allah adalah qadim.

Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang

qadir, tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak

ada permulaannya.

2.) Mengenai Sifat Allah SWT

Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan

di antara Imam Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya

Tuhan juga mempunyai sifat-sifat, seperti adanya nash

yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan

sifat mendengar dan mellihat.

3.) Masalah Iman dan Islam

Syaikh Zadah menjelaskan sesungguhnya al-Iman menurut

Al-Maturidi adalah ”al-Iqrar wa al-Tashdiq”, yakni ikrar

dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Sementara orang-

orang Al-Asy’ariah mensyaratkan iman dengan membaca

dua kalimah syahadat sebagai bukti adanya pembenaran.

Argumentasi Al-Maturidi sesungguhnya iaman secara

bahasa adalah pembenaran (al-Tashdiq), sementara tashdiq

kadang dengan hati, kadang dengan lisan.

4.) Masalah Melihat Allah SWT

Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan

golongan Al-Asy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat

oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai berikut : tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud,

setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan

berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat.

5.) Masalah Dosa Besar

Bagi Maturidi orang yang

berdosa besar (seperti zina dan membunuh) tetap dikatakan

sebagai seorang Mu’min. Adapun bagaimana nasibnya kelak

di akhirat, terserah kepada Tuhan. Hemat penyusun, wajar

dia berpendapat demikian, sebab baginya iman dan Islam

adalah sama. Kalau keberadaan iman yang ”La yazid wala yanqush” maka Islam pun tentu tidak jauh dari itu. Pendapat

Al-Maturidi di atas sejalan dengan guru utamanya, Abu

Hanifah y ang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak

bisa menjadi kafir dengan berbuat dosa, kendatipun itu

adalah dosa besar (Hanifah, 1324 H: 5).

6.) Masalah Baik dan Buruk

Dalam hal ini

Maturidiah lebih dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat

bahwa sesungguhnya akal mampu mengidentifikasi sesuatu

yang baik dan buruk.

3. Pada perkembangan selanjutnya al-Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan. Yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara yang dipelopori oleh Bazdawi.

Sesungguhnya al-Maturidy itu adalah sebaya dengan al-Asy’ary. Hanya saja berbeda tempat tinggal. Al-Asy’ary hidup di Bashrah Irak, pengikut madzhab Syafi’I, sedangkan al-Maturidy bertempat tinggal di Samarkand, pengikut madzhab Hanafi. Karena itu tidak mengherankan kalau pengikut al-Asy’ary pada umumnya adalah orang-orang yang bermadzhab Syafi’i dan pengikut-pengikut al-Maturidy adalah orang-orang yang bermadzhab Hanafi.

1.Golongan Samarkand

Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidy sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.

2.Golongan Bukhara

Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidy yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidy. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah.

Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidy. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.


"Kajian 3"

1. Keesaan Allah adalah keyakinan yang terpenting dalam ajaran Islam.

Keesaan Allah SWT meliputi 3 hal yakni:

1.) RUBUBIYAH

2.) ULUHIYAH

3.) ASMA WA SIFAT

Adapun penjelasan masing-masing keesaan Allah SWT ini ada pada bagian berikut:

1.) RUBUBIYAH, maksudnya adalah bahwa Allah SWT merupakan satu-satunya Tuhan yang menciptakan, merencanakan, memelihara, mengatur, memberi manfaat, menjauhkan mudharat, memberikan rezeki, memiliki dan menjaga seluruh alam semesta ini. Allah SWT adalah ESA dan TUNGGAL dalam memelihara alam semesta berikut semua isinya. Ia tidak bersekutu dengan apapun dan tidak bersandar pula pada apapun itu.

2.) ULUHIYAH, maksudnya adalah bahwa Allah SWT adalah tuhan yang Esa tuhan yang Tunggal sehingga ia adalah satu-satunya yang pantas untuk disembah manusia, tempat manusia memohon pertolongan, tempat manusia bergantung dan menyandarkan diri dan lain sebagainya.

3.) ASMA WA SIFAT

maksudnya adalah Allah SWT mempunyai sejumlah nama-nama baik lagi indah yang disebut dengan istilah Asmaul Husna. Masing-masing asmaul husna Allah SWT ini mewakili sifat-Nya Yang Maha Sempurna.

2.Kebebasan berkehendak

Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia? Imam Ali menjawab: “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan.

3.Akal dan wahyu punya sejarah pertikaian hebat. Ini bukan karena keduanya bertentangan, namun karena ulah manusia yang menciptakan pertikaian antara akal dan wahyu.


"Kajian 4"

1. Akal dan Wahyu

Menurut Al-Maturidi akal manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah. Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumi. Sebab hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya. Begitu pula akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk (Al-Ahkam at-taklifiyyah). Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202). Dengan demikian kedudukan akal kuat sekali menurut Al-Maturidi karena akal semata dapat mengetahui Allah, berterima kasih kepadanya, mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan wahyu di sini berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat diketahui akal, yaitu mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk.

2. Tentang Perbuatan Manusia

Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia adalah diciptakan Allah.

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Allah bukan atas kehendak manusia.

Manusia berbuat baik dan berbuat buruk atas kehendak Allah, tetapi Allah tidak rela manusia berbuat buruk. Untuk itu apabila manusia berbuat baik, atas kehendak dan kerelaan Allah, tetapi apabila berbuat buruk atau jahat atas kehendak Allah namun tidak diridlai-Nya.

Dalam ungkapan Maturidi perbuatan manusia tetap ciptaan Tuhan tetapi manusia sanggup mendapatkan perbuatan itu dengan daya yang diciptakan dalam dirinya dan juga sanggup tidak memperolehnya dengan daya yang diciptakan Tuhan itu. Manusia bebas memilih untuk mendapatkan atau untuk tidak mendapat suatu perbuatan. Pada kebebasan memilih itulah tergantung adanya pahala dan siksaan. Demikianlah Maturidi berusaha menunjukkan peranan efektif manusia dalam memperoleh suatu perbuatan tanpa menafikan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.

Kebebasan manusia dalam paham Maturidi adalah kebebasan dalam mentaati atau melanggar apa yang diperintahkan/dilarang Tuhan.

3. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan

Al Maturidi mengatakan bahwa qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

4. Sifat Allah

Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda. Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya. Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya. Penjelasan yang berbeda tentang ini diberikan oleh Syekh Abu Zahrah. Kata Abu Zahrah (1946:207-208). Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim.


"Kajian 5"

Problematika konseptual aqidah menyangkut nilai-nilai sosial dan moral yang menyimpang sehingga perlu diteliti, ditelaah, diperbaiki, bahkan mungkin untuk dihilangkan.

Dalam tradisi NU, bermazhab itu ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab secara manhaji. Bermazhab secara qauli adalah mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah mengikuti mazhab dari segi pola pikir (manhaj al-fikr), sebagai sebuah proses bukan produk.

Bermazhab secara qauli tidak selamanya bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum (produk hukum) oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst), sementara zaman terus berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.

Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah dirumuskan ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji, atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan sebagai kerangka acuan, sebab kalau tidak yang terjadi adalah berhentinya berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas untuk tidak mengatakan fanatik dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh.

Di bidang teologi, banyak doktrin-doktrin yang kadang-kadang juga perlu kita tinjau ulang. Oleh sebab itu yang berlu kita sadari, bahwa ASWAJA itu merupakan pola pikir (manhaj al-fikr) yang sebagian relevan dan sebagian lain mungkin perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa memaksakan ASWAJA sebagai teologi kemapanan (estabilished), tetapi ia merupakan khazanah, turats yang tidak selalu benar adanya. Dengan begitu, maka ASWAJA sebagai manhaj al-fikr tidak lain adalah proses dinamika pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah selesai.


"Kajian 6"

A. Tokoh Imam Mazhab

1.) Madzhab Hanafi Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit.

2.) Madzhab Maliki Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy.

3.) Madzhab Syafi’i Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi.

4.) Madzhab Hanbali Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani.

B. Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :

1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash

2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits

3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash

4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)

5. Perbedaan Tentang Qiyas

6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum

7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum

8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh

C.Menurut Dr. Huzaemah dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya dua aliran tersebut, yaitu :

1. Hadits-hadits Nabi saw dan fatwa-fatwa para sahabat di irak tidak

sebanyak di hijaz. Karena itu, fuqaha' irak harus memeras otak dan berusaha keras untuk memahami pengertian nash dan 'illat dalam rangka penetapan hukum dari syara', agar pengertian hukum tersebut tidak terbatas hanya yang tertera dalam teksnya saja.

2. Irak merupakan pusat pergolakan politik dan pusat pertahanan golongan

syi'ah dan khawarij yang salah satu akibat negatifnya ialah adanya pemalsuan terhadap hadits-hadits Rasulullah. Oleh sebab itu fuqaha' irak sangat hati-hati dalam menerima hadits. Bila ada hadits yang tidak sesuai dengan Maqasid al-syariah (tujuan umum prinsip-prinsip syara') hadist tersebut mereka ta'wilkan atau mereka tinggalkan.

3.Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda . Irak pernah lama dikuasai Persia. Sehingga mempengaruhi hubungan keperdataan dan adat kebiasaan orang Irak, yang sama sekali tidak dikenal di Hijaz. Sementara di Hijaz sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi'in dan Tabi-tabi'in (para imam

mujtahidin) hampir tidak ada perubahan berarti, sehingga setiap kejadian hampir ditemukan hukumnya dalam Sunnah Rasulullah atau fatwa sahabat dan Tabi'in.

D. Ilmu ushūl al-fiqh adalah sebuah ilmu yang berkembang bersama dengan ilmu fiqh sehingga ilmu ini sebenarnya sudah ada sejak zamannya Rasulullah. Rasulullah adalah asal muasal dan sumber dari hukum syar’i karena beliau adalah yang menyampaikan wahyu dari Allah yang berupa Al Qur’an dan juga melalui sunnah-sunnahnya. Namun demikian pada masa Rasulullah masih hidup, manusia tidak membutuhkan kepada kaidah-kaidah syar’iyyah, lughowiyyah (bahasa) ataupun manthiqiyyah (logika) secara khusus karena hal ini sudah ada di dalam diri mereka.

E. 1.) Hanafi

Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin Tsabit atau yang lebih terkenal dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat 767 masehi. Pemikiran hukumnya bercorak rasional. Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai kemajuan yang tinggi di Iraq. Sehingga persoalan yang muncul banyak dipecahkan melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal adalah Fiqh Al-Akbar.

2.) Maliki

Mazhab Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan oleh Malik bin Anas atau yang biasa dikenal dengan nama Imam Malik. Imam Malik wafat pada 797 Masehi. Sepanjang hidupnya Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk keperluan ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.

3.) Syafi'i

Mazhab Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi'i. Ia wafat pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis.

4.) Hambali

Mazhab Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i.

Corak pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW.

F. Kaum Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini. Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar kaum Syiah. Apapun dipandang boleh, demi mencapai tujuan yang diinginkan.


"Kajian 7"

1. Pemikiran Imam HANAFI (IMAM ABU HANIFAH)

Adapun pemikiran madzhab ini, maka mazhab Hanafi dikenal sebagai Imam Ahlu ar-ra’yi serta fikih dari Irak. Ia dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum, yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama dalam madzhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Muhammad Salam Madkur menguraikan karakteristik manhaj Hanafi, bahwa fikih Hanafi membekas kepada ahli Kufah (negeri Imam Abu Hanifah dilahirkan) yang mengembangkan aplikasi adat, qiyas, dan istihsan. Bahkan dalam tingkatan imam, ia sering melewatkan beberapa persoalan; yakni apabila tidak ada nash, ijma’, dan qaul sahabat kepada qiyas, dan apabila qiyasnya buruk (tidak rasional), Imam Hanafi meninggalkannya dan beralih ke istihsan, dan apabila tidak meninggalkan qiyas, Imam Hanafi mengembalikan kepada apa-apa yang telah dilakukan umat Islam dan apa-apa yang telah diyakini oleh umat islam, begitulah hingga tercapai tujuan berbagai masalah.

2. Pemikiran Imam MALIKI (IMAM MALIK)

Dalam pemikirannya, prinsip dasar madzhab Maliki adalah: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, ‘Ijma, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa sahabat, Al-maslahah al-mursalah, ‘urf, Istihsân, Istishâb, Sad adz-dzarî’ah, Syar’u man qoblana.

Kemudian Imam Asy-Syatibi menyederhanakan dasar fikih madzhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Rasio.

Alasannya: menurut imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd adz-dzar’iah, istihsan, ‘urf, dan istishab. Menurut para ahli ushul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

3. Pemikiran Imam SYAFI’I

Dalam penetapan hukum Islam, Imam Syafi’i menggunakan: Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ sahabat, Qiyas (tetapi dalam pengguanaannya tidak luas).

Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbathkan hukum syara’. Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi’i diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fikihnya al-Umm, kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya yaitu Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H) seorang ulama besar Mesir, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H).

4. Pemikiran Imam HANBALI (IMAM AHMAD IBN HAMBAL)

Dasar mazhab Hanbali adalah Al-Quran, Sunnah, fatwa sahahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, sadd adz-dzarai’.

Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadist. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad mengunakan hadist mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan bukan hadis bathil atau munkar.

Prinsip dasar Madzhab Hanbali adalah: An-Nushush, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’, fatwa Sahabat, jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’, dan apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Madzhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Madzhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.