UTS

UTS Kajian 2-7

UTS Kajian 2-7

oleh 2003401051039 NUR WARDATUL WALIDAH -
Jumlah balasan: 0

Kajian 2

1. Nama lengkap Abu Manshur al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud. Dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand termasuk kawasan Ma Wara’ al-Nahr, dan wafat pada tahun 333 H/944 M, ia menimba ilmu pada pertiga terakhir abad ke-3 Hijrah, yakni pada masa Muktazilah. Tampakanya ia dilahirkan pada sekitar pertengahan abad ke-3 Hijrah. A.K.M.Ayyub Ali menyimpulkan bahwa al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H/853 M. Dapat dipastikan, bahwa beliau belajar ilmu fikih dari Madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balakhi. garis ketururunan beliau bersambung dengan sahabat Abu Ayyub al-Anshory. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.

2. Pemakaian nalar yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran imam al-maturidi dalam ilmu aqidah yang juga mengacu terhadap karakter pemikiran Imam Abu Hanifah. Pemikiran teologi al-muturidi 1. Akal dan Wahyu, yang dimaksud adala mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. 2. Perbuatan manusia, yang dimaksud adalah Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidy mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. 3. Sifat Tuhan, yang dimaksud adalah Allah bersifat immateri, yang karenanya Ia tidak memiliki sifat-sifat jasmani (materiil). 4. Melihat Tuhan, yang dimaksud adalahl-Maturidy meyakini bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat , karena ia mempunyai wujud. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia. 5. Kalam Tuhan, yang dimaksud adalah Al-Maturidy membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara. 6. Perbuatan Tuhan, yang dimaksud adalah Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. 7. Pengutusan Rasul, yang dimaksud adalah Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya. 8. Pelaku dosa besar, yang dimaksud adalah Al-Maturidy berpendapat iman itu tidak akan hilang karena melakukan dosa besar, dan Tuhan yang akan mengadili kelak dihari kiamat. Antara iman dan perbuatan tidak saling mempengaruhi atau menghilangkan, karena iman itu di dalam Qalb, sedang perbuatan letaknya pada gerakan anggota badan. 9. Iman, yang dimaksud adalah Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. 10. Kebaikan dan keburukan menurut akal, yang dimaksud adalah Al-Maturidy dan juga golongan Maturidiyah jug amengakui adanya keburukan objektif(yang terdapat pada asustu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan itu sebagi sesuatu perbuatan. Seolah-olah meerekamembagi perbuatan menjadi tiga bagian. Yaitu bagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata. Sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata dana sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara.
3. Lahirnya aliran Maturidiyah dilatarbelakangi oleh: (a) rasa tidak puas al-Maturidi terhadap metode Kalam kaum rasionalis, di satu sisi dan kaum tradisionalis di sisi lain, (2) kekhawatiran atas meluasnya paham Syiah Qaramithah yang banyak dipengaruhi oleh aliran Mazdakism dan Manichaenism. Pemikiran teologi al-Maturidi dipengaruhi oleh pemikiran Abu Hanifah serta kondisi masyarakatnya yang heterogen, di samping itu, Samarqand sebagai tempat kediamannya merupakan arena diskusi para ulama dari berbagai aliran mazhab fikih dan kalam. Sehingga pemikiran-pemikiran teologi al-Maturidi kadang-kadang cenderung pada Mu‟tazilah.Pemikiran teologi al-Maturidi tersebar melalui karyanya, dan setelah beliau wafat, ajaran-ajarannya yang kemudian dikenal sebagai aliran Maturidiyah, disebarkan melalui murid-murid dan para pengikutnya, dari masa ke masa. Salah seorang pengikutnya yang terkemuka adalah al-Bazdawi yang dalam pandangan kalamnya terdapat perbedaan dengan al-Maturidi, sehingga lahirlah istilah golongan Maturidiyah Bukhara yakni pengikut al-Bazdawi, dan Maturidiyah Samarqand, yakni pengikut al-Maturidi sendiri.
Kajian 3
1. Imam Al-Haramayn (w. 478/1085) menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-Nya. Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di atas.14 Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22.15 Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya. enjabaran Imam Al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek: dzat, shifat dan af‘al (perbuatan).16 Yang pertama bermakna bahwa Allah SWT Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini adalah Al-Quran surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan Allah dengan makhluk akan memiliki konsekuensi kebaharuan dan kebutuhan terhadap pencipta atau berkonsekuensi bahwa dahulunya makhluk yang menyerupai-Nya, keduanya mustahil bagi Allah SWT.17 Singkatnya, tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT, dalam dzat-Nya tidak tersusun dari elemen-elemen, internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai dzat-Nya.
2. Pada dasarnya al-Asy'ari>, menggambarkan manusia sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak.29 Karena manusia dipandang lemah, maka paham al- Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will). Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Menurut para ahli bahasa, kata kasb mempunyai makna dasar yang meliputi “menginginkan, mencari, dan memperoleh”. Dari sini kemudian muncul, makna “mencari rezeki (usaha), “berjalan untuk mencari rezeki”, dan “mencari sesuatu yang diduga mendatangkan manfaat (keuntungan), dan ternyata mendatangkan mudharat (kerugian)”. Anak juga disebut kasb karena bapaknya menginginkannya dan berusaha untuk mendapatkannya .
3. Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu.34 Namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu. 35 Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut al-Asya’ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan. karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan semua itu, atau dengan kata lain lewat wahyulah semua kewajiban keagamaan manusia itu diketahui.
Kajian 41. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Allah, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Allah dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah. Menurut pendapat Imam al-Maturidi, akal manusia dapat menjangkau kesimpulan tentang adanya Allah, juga mampu mengetahui kewajiban berterima kasih kepada-Nya. Karena Allah adalah pemberi nikmat, maka akal manusia harus dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat itu. Selanjutnya Imam al-Maturidi mengatakan, bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk sesuatu berdasarkan sifat-sifat dasar (nature) yang baik pada perbuatan baik dan sifat-sifat yang buruk pada perbuatan buruk. Imam Al-Maturidi lebih jauh mengatakan, walaupun akal itu dapat menentukan baik dan buruk, akan tetapi tidak dalam segala hal. Beliau membagi sesuatu baik dan buruk ke dalam tiga hal, yaitu kebaikan yang hanya dapat dicapai oleh akal semata-mata serta kebaikan dan keburukan yang tidak dapat dicapai oleh akal, dan hanya dapat diperoleh melalui wahyu. Akan tetapi sebagaimana halnya Imam Abu Hanifah dalam hal kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk, Imam al-Maturidi berpendapat, akal tidak bisa bertindak sendiri dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban, karena pembuat taklif itu hanya Allah SWT. Dengan demikian bagi Imam al-Maturidi akal dapat mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu. Dan dalam hal ini, Imam al-Maturidi lebih dekat kepada Mu'tazilah yang mengatakan akal dapat mengatasi empat persoalan pokok yang berhubungan dengan akal.
2. Dalam hal perbuatan manusia, Imam al-Maturidi berpendapat bahwa perbuatan itu ada dua macam, pertama yaitu perbuatan Allah yang mengambil bentuk penciptaan daya pada diri manusia, kedua yaitu perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya itu berdasarkan pilihan dan kebebasan. Daya itu diciptakan bersama-sama dengan perbuatannya, karenanya pebuatan manusia dikatakan ciptaan Allah. Perbuatan yang diciptakan itu diperoleh manusia melalui peran aktifnya dengan menggunakan daya ciptaan Tuhan. Seandainya perbuatan itu tidak dipergunakan, maka pebuatan pun tidak akan ada, manusia bebas memilih. Oleh sebab itu perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenanya, bukan dalam arti majazi.
3. Al-Maturidiyah membagi perbuatan itu kepada dua, yaitu perbuatan Tuhan yang mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya itu berdasarkan pilihan dan kebebasan manusia. Al-Maturidi juga sependapat dengan Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai kewajiban – kewajiban tertentu bahwa janji dan ancaman - ancaman Tuhan mesti terjadi kelak. Beberapa pendapat Al-Maturidy diatas memberi gambaran Tuhan sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak lagi, karena telah dibatasi oleh kebebasan manusia dalam berkehendak dan bertindak , dibatasi oleh kewajiban - kewajiban yang harus dilaksanakan dan dibatasi oleh janji - janji yang harus dipenuhinya. Lebih tegas bahwa menurut golongan Maturidiyah Samarkand , kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan telah dibatasi oleh :
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka
ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang - wenang, tetapi
berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang
diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman - hukuman Tuhan sebagai kata Al - Bayadi, tak boleh tidak
mesti terjadi.
4. Sebagaimana halnya Imam Asy’ari, Imam al-Maturidi pun berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Menurut Imam al-Maturidi sifat bukanlah sesuatu zat, sifat bukanlah yang tegak atau melekat pada zat, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa berbilangnya sifat akan mengakibatkan kepada ta’addud al-qudama’.
Pemikiran Imam al-Maturidi di atas dapat disimpulkan bahwa sifat menurut Imam al-Maturidi bukan zat dan bukan selain zat, tidak melekat pada zat dan tidak terpisah dari zat. Sebagai contoh, Tuhan Maha Mendengar, Imam Maturidi tidak mengatakan bahwa Allah itu Maha Mendengar dan pendengaran-Nya itu adalah zat-Nya. Juga tidak mengatakan bahwa pendengaran Tuhan itu berdiri sendiri terpisah dari zat-Nya yang mengakibatkan berbilangan yang qadim.
Kajian 5Persoalan yang dihadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam
berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam menda- patkan hiburan (entertainment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang
semakin membuka peluang munculnya kerawanan moral dan etika. Pembangunan di bidang fisik itu tentu saja membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat seperti berbagai kemudahan-kemudahan dalam mengakses setiap kebutuhan. Namun demikian berbagai permasalahan umat juga mengalami perkembangan yang luar biasa baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan karena pembangunan mental spritual tidak mendapatkan porsi yang seimbang dengan pembangunan pisik yang justru merupakan hakekat dari pembangunan itu sendiri. Sebagai makhluk yang sempurna maka manusia dilengkapi dengan suatu tabiat yang berbentuk dua kekuatan yaitu amarah dan syahwat (keinginan). Dua kekuatan inilah yang menentukan akhlak dan sifat manusia. sikap mental materialistik, agama akan kehilangan daya tariknya karena agama tidak memberikan keuntungan material apapun bagi manusia. Itulah sebabnya beberapa ilmuwan sosial meramalkan bahwa semakin modern suatu masyarakat, semakin tersingkir pula agama dari kehidupan sosial masyarakat itu. Tidak ada agama yang bisa diharapkan akan bertahan lama jika berdasarkan kepercayaannya kepada asumsi-asumsi yang secara ilmiah jelas salah. Inilah problematika dakwah kita masa kini. Oleh sebab itu semuanya harus dikelola dengan manajemen dakwah yang profesional oleh tenaga-tenaga dakwah yang berdedikasi tinggi, mau berkorban dan ikhlas beramal. Untuk mengubah wajah umat Islam yang suram diperlukan dakwah islamiyah untuk menyembuhkan penyakit dalam tubuh umat Islam.
Kajian 6
a. Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka.
b. sebab sebab terjadinya madzhab sesungguhnya intinya (memijam bahasa Prof.Dr.H.A.Zahro,MA) lebih dikarenakan dua hal. Pertama, perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh adalah lazim terjadi, merupakan wewenang seorang mujtahid selaku pemegang otoritas. kedua, adanya perbedaan interpretasi atau penafsiran sesuai dengan kapabilitas atau kedalaman keilmuan seorang mujtahid.
c.Aliran ahl-al-ra’y dan Ahl al-Hadis tumbuh dan berkembang pesat seiring dengan perkembangan dunia islam yang mengalami masa kemajuannya yang pertama,2 Khususnya dalambidang pengetahuan dan filsafat, tepatnya pada masa kekhalifahan depegang oleh Diasti ‘Abbasiyyah.3dimasa inilah mulai timbul usaha menterjemahkan dan mengembangkan beragamilmu pengetahuan dan falsafah Yunani. Gerakan tersebut dimulai dari awal pemerintahan ‘Abasiyyah pasa masa Khalifah al-Mansyur (w. 775 M.) tetapi mencapai puncaknya pada masa pemerintahan khalifah HArun al-Rasyid (w.809m.) dan al-Makmun (w.
833 M.). Usaha penterjemahan terhadap teks-teks filsafat dan ilmu pengetahuan telah berhasil mendorong kemajuan di segala bidang. Para khalifah Abasiyyah banyak memperkerjakan orang- orang Persia yang baru masuk islam unutk kegunaan misi pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat itu sendiri. Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat pun didatangkan dari Byzantium dan beberapa tempat lainnya untuk selanjutnya diterjemahkan kedalam bahasa arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku asing tersebut berjalan cukup lama, yaitu kira-kira selama satu abad. Dua bentuk pemikiran Hukum tersebut, Ahl al-hadis dan Ahl al-Ra’yi pada kenyatannya telah berhasil memberikan kontribusi yang banyak bagi para penciptaan dasar-dasar hukum pada Mazhab-mazhab hukum Islam yang terkenal yang dibangun oleh masing-masing imam MAzhabnya. Dan kebanyakan perbedaan pendapat di antara para Imam Mazhab dalam
menetapkan hukum adalah didasarkan pada perbedaan di dalam memandang dasar-dasar yang ada di dalam hukum Islam.
d. -Periode Rasul dan Sahabat
Ketika melacak tentang pembentukan dan pertumbuhan hukum Islam, termasuk kaidah-kaidah fiqih, kita harus memulainya dari masa Rasul Allah, sebagai pembawa agama dan aturan-aturannya, dengan Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai dasarnya.
-Periode Kodifikasi
Seiring dengan perkembangan pemikiran hukum Islam, kaidah-kaidah fiqh juga mendapat perhatian serius dari para ulama berbagai mazhab hukum. Keseriusan mereka terlihat dari adanya upaya-upaya pengkodifikasian kaidah-kaidah fiqh tersebut. Asymuni A. Rahman (1974:12-15) menguraikan: Dari kalangan ahli hukum Hanafiyah, terutama rentang waktu abad ke-3 hingga ke-12 Hijriyah, ditemukan beberapa orang yang telah melakukan kodifikasi tersebut.
-Periode Modern
Pada periode modern kodifikasi kaidah-kaidah Fiqh telah dilakukan oleh para ahli, baik secara kelompok maupun individu. Umpamanya di dalam Majallah Ahkam „Adliyah, yang memuat sejumah 99 kaidah fiqh, yang mengambil dari kitab Ibn Nujaim alKhadimi secara eklektis dan selektif, dengan penambahan kaidah yang relevan dengan masyarakat Turki. Kaidah-kaidah ini dimuat dalam al-fiqh al-Islami fi Tsaubih al-jadid, karya Musthafha Ahmad al-Zarqa. Kemudian Sayyid Muhammad Hamzah (seorang mufti damaskus) telah mengkodipikasi kaidah-kaidah fiqih dengan sistematika fqh yang diberi judul al-fawa id alBahiyah fi al Qowaid al- fiqhiyah.
e. Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab Hanafi. Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia wafat pada 767 masehi 158 H. Selamahidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid[20]

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.
f. KAUM SYIAH, GOLONGAN TERDEPAN YANG MEMALSUKAN HADITS Salah satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia. Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah (hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits (palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai kebenaran. Padahal sejatinya itu adalah hadits palsu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan atau melakukannya sama sekali.
Kajian 7

1. Dasar yang dipakai oleh mazhab Hanafi adalah Alquran, Sunnah, dan fatwa sahabat yang merupakan penyampai. Mazhab ini juga menggunakan qiyas sebagai dasarnya dan juga istihsan, yaitu qiyas yang berlawanan dengan nas. Imam Hanafi juga menggunakan ijma, yaitu kesepakatan para mujtahid mengenai suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.

2. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab ahli hadist yaitu hukum agama yang bersumber pada hadis-hadis. Dalam hal ini, Imam Maliki lebih mengutamakan segala hal tindakan dan perbuatan berdasarkan hadis Rasul. Sebab, menurutnya mustahil penduduk Madinah berbuat sesuatu bertentangan dengan perbuatan Rasul yang menjadi tokoh besar di kota tersebut.

3. Di sini, Imam Syafi’i berusaha menggabungkan mazhab hadis dan mazhab qiyas. Inilah yang menjadi keutamaan mazhab syafi’i dibandingkan mazhab lain.

4. Imam Hambali melahirkan mazhab yang digunakan untuk perbuatan-perbuatan afdal bukan untuk menentukan hukum, yaitu tidak lain adalah hadist dla’if. Mazhab ini sangat berguna dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.