UTS

UTS

UTS

oleh 2003401051027 IVA DATUL AMALIYA -
Jumlah balasan: 0

Jawaban :

TM 1

Menurut saya, sejarah pemikiran imam al-maturidi berawal dari dinasti Abbasiyah yang mengucilkan ajaran sekte Mu'tazilah pada tahun 234H pada masa Khalifah al-Mutawakkil maka Semenjak itulah ajaran sekte Mu'tazilah perlahan mulai menyingkir ke daerah di sekitar Asia Tengah. Begitu pula dengan sekte Qaramithah yang mencapai kejayaan dakwahnya di daerah Asia Tengah pada sekitar 261hingga tahun 278 H. Ditambah pula dengan adanya pengaruh ajaran Zoroaster dan beberapa ajaran agama lain yang mengakar kuat sejak dahulu di Asia Tengah. Hal ini, juga disebabkan karena letak daerah Asia Tengah yang strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan antar budaya dari daratan China hingga kawasan Timur Tengah.

Dengan adanya permasalahan tersebut, maka datanglah Abu Manshur Al-Maturidi sebagai tokoh Aswaja yang paling berpengaruh di Asia Tengah dengan beberapa karya tulisnya yang mampu mematahkan beberapa pemikiran sekte yang menyimpang dengan argumentasi nalar yang kuat. Pemakaian nalar akal yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam ilmu aqidah yang mengacu pada karakter pemikiran Imam Abu Hanifah. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang dibawa oleh Abu Manshur Al-Maturidi adalah sebagai penyempurna dari argumentasi yang di bangun oleh Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqh al-Akbar yang tidak berlebihan. Menurut saya, sejarah pemikiran imam al-maturidi berawal dari dinasti Abbasiyah yang mengucilkan ajaran sekte Mu'tazilah pada tahun 234H pada masa Khalifah al-Mutawakkil maka Semenjak itulah ajaran sekte Mu'tazilah perlahan mulai menyingkir ke daerah di sekitar Asia Tengah. Begitu pula dengan sekte Qaramithah yang mencapai kejayaan dakwahnya di daerah Asia Tengah pada sekitar 261hingga tahun 278 H. Ditambah pula dengan adanya pengaruh ajaran Zoroaster dan beberapa ajaran agama lain yang mengakar kuat sejak dahulu di Asia Tengah. Hal ini, juga disebabkan karena letak daerah Asia Tengah yang strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan antar budaya dari daratan China hingga kawasan Timur Tengah.

Dengan adanya permasalahan tersebut, maka datanglah Abu Manshur Al-Maturidi sebagai tokoh Aswaja yang paling berpengaruh di Asia Tengah dengan beberapa karya tulisnya yang mampu mematahkan beberapa pemikiran sekte yang menyimpang dengan argumentasi nalar yang kuat. Pemakaian nalar akal yang cukup dan seimbang adalah corak pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi dalam ilmu aqidah yang mengacu pada karakter pemikiran Imam Abu Hanifah. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang dibawa oleh Abu Manshur Al-Maturidi adalah sebagai penyempurna dari argumentasi yang di bangun oleh Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqh al-Akbar yang tidak berlebihan. 

TM 2

1). Namanya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, beliau di lahirkan di sebuah kota yang bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun 333 H/ 944 M. Beliau adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah dimana salah satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah. Tidak seorangpun secara pasti mengetahui tahun kelahirannya. Ini adalah sebuah observasi penting yang berarti bahwa orang dapat membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya tidak ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya.

2). Pemikiran imam al-maturidi, yaitu :

a. Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda. Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya. Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya.  

b. Tentang Anthropomorphisme Anthropomorphisme atau at-tasybih, yaitu paham yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota badan atau Allah mempunyai sifat-sifat Jasmaniyah yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia.

c. Tentang Al-Qur'an sebagai makhluk atau bukan, maka Maturidi menetapkan bahwa kalamullah adalah makna  yang berdiri pada zat-Nya dan dengan demikian merupakan satu sifat dari sifat-sifat yang berhubungan dengan zat-Nya, qadim –dengan qadimnya zat Yang Maha Tinggi—tidak tersusun dari kiata dan huruf. 

3). Dalam sejarah perkembangan teologi Islam sebagai fakta atau realita yang mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikiran tokoh itu tidak selamanya sama dengan pengikutnya.

TM 3

1). Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) dan dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat. Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22. Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.

2). Kebebasan berkehendak, Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia, Imam Ali menjawab, “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya,) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan memilih (takhyīran)” (Musawi, 2004).Dengan berdasarkan keterangan dari Imam Ali di atas, menyiratkan bahwa sebenarnya kebebasan adalah fitrah manusia. Manusia diberikan kebebasan mutlak untuk memilih dan mengambil jalan hidupnya. Sebab, jika manusia terkurung secara ketat oleh “qadar” atau takdir Tuhan, maka secara logis manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, sehingga tidak berguna para Nabi atau ulama menerangkan kepada manusia. Dalam pandangan Islam, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas. Ia bebas untuk berpikir, bertindak, dan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya. Ia bebas pula dalam mencari kebahagiaannya. Sebab, hanya dengan kebebasan kita meyakini tentang tanggung jawab dan pilihan atas tindakan manusia.

3). Akal dan Wahyu, yaitu Walaupun Asy'ari dan orang-orang mu'tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Maka dengan demikian Al-Asy'ari lebih mengutamakan wahyu.1). Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) dan dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat. Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22. Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.

2). Kebebasan berkehendak, Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia, Imam Ali menjawab, “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya,) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan memilih (takhyīran)” (Musawi, 2004).Dengan berdasarkan keterangan dari Imam Ali di atas, menyiratkan bahwa sebenarnya kebebasan adalah fitrah manusia. Manusia diberikan kebebasan mutlak untuk memilih dan mengambil jalan hidupnya. Sebab, jika manusia terkurung secara ketat oleh “qadar” atau takdir Tuhan, maka secara logis manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, sehingga tidak berguna para Nabi atau ulama menerangkan kepada manusia. Dalam pandangan Islam, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas. Ia bebas untuk berpikir, bertindak, dan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya. Ia bebas pula dalam mencari kebahagiaannya. Sebab, hanya dengan kebebasan kita meyakini tentang tanggung jawab dan pilihan atas tindakan manusia.

3). Akal dan Wahyu, yaitu Walaupun Asy'ari dan orang-orang mu'tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Maka dengan demikian Al-Asy'ari lebih mengutamakan wahyu.

TM 4

A). Akal dan wahyu : Imam al-Maturidi sering kali disebut "Berada antara teologi Mu'tazilah dan Asy'ariyah"sesungguhnya persamaan pendapat dari aliran al-Maturidi terjadi di sebagian pemahamnya,Pemikiran-pemikiran al-Maturidi dalam soal-soal kepercayaan didasarkan pada pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Absath serta memberi ulasan-ulasan terhadap kedua kitab, sehingga boleh dikatakan bahwa al-Maturidi telah menganut madzhab Imam Abu Hanifah yang terkenal ketat dengan keabasahan akal, Dalam perhelatan pemikiran teologinya, al-Maturidi telah memberikan konstribusi banyak terhadap corak dan model pemikiran baru yang dulunya konservatif-tradisionalis, Asy'arian sehingga membawa paham ahli al-sunnah wa al-jama'ah mampu bersaing dengan paham Mu'tazilah yang mempunyai kecenderungan memberikan otoritas penuh pada akal sampai-sampai bermaksud mengenyampingkan otoritas wahyu,untuk tidak dikatakan membuangnya sama sekali.

B). Perbuatan manusia ; perbuatan manusia bukanlah perbuatan tuhan, akan tetapi perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan. Perbuatan tuhan adalah menjadikan dan mewujudkan sedangkan yang melakukan perbuatan adalah manusia.

C). Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhank kekuasaan Tuhan bersifat mutlak dan hanya dimiliki oleh tuhan. Tuhan berbuat apa yang dikehendakinya, dan tuhan tidak berbuat apa yang tidak dikehendakinya serta menentukan segala-galanya.

D).  Sifat Tuha : SifatTuhan sama dengan pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat. Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat Tuhan itu Mulazamah ada bersama zat tanpa terpisah.

TM 5

Problematika yang di hadapi oleh NU yaitu perbedaan pendapat yang dapat membuat perpecahan dengan bidang yang berbeda-beda. Sehingga muncullah persoalan-persoalan yang muncul setiap waktu sangat beragam dan bertambah kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid. Problematika yang di hadapi oleh NU yaitu perbedaan pendapat yang dapat membuat perpecahan dengan bidang yang berbeda-beda. Sehingga muncullah persoalan-persoalan yang muncul setiap waktu sangat beragam dan bertambah kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid.

TM 6

A. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi

B. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (madzhab salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbali.

C. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya, seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

D. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi yang dijelaskan lebih rinci tentang sikap keagamaan NU, baik dalam hal akidah, syariah, tasawuf, dan siyasah. Penjelasan tentang hal tersebut tidak mungkin menghindarkan dari biografi tokoh pendiri madzhab yang diikuti oleh NU.

TM 7

1). Imam Abu Hanifah (w. 767 M). Beliau dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau Imam ahl al-Ra’y, tokoh aliran rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Sebuah kota metropolitan dan salah satu pusat peradaban dunia. Ia seorang pedagang kain. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.” (Mazhab ini diperkirakan dianut oleh sekitar 45% muslim di dunia)

2). Imam Malik bin Anas (w. 795 M) disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat di Madinah. Beliau banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat beliau menghabiskan usianya. Imam Malik dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum. Bahkan dikatakan ia seringkali lebih mengutamakan praktik tradisi Madinah itu daripada hadits Ahad. Imam Malik menganggap praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar kata-kata. Ia dianggap sebagai kesepakatan penduduk Madinah yang memilki sumber dari sahabat dan dari Nabi. (Mazhab ini dianut oleh sekitar 25 % muslim di dunia).

3). Imam Al Syafi’i (w. 820 M) disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Beliau melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian tinggal di Baghdad, Irak, dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya pindah ke Mesir. Beliau menetap di sana sampai wafatnya. Beliau diikuti oleh kurang lebih 28 % muslim dunia).

4). Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya Imam kaum fundamentalis. Beliau seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Al-Thabari, guru besar ahli tafsir, bahkan menyebut Ahmad bin Hanbal sebagai ahli hadits dan bukan ahli fiqh. Beliau sering disebut juga pemimpin kaum “salafi”. (Pengikutnya hanya 5% dan sekarang menjadi mazhab hukum di Arab Saudi).