UTS

Jawaban UTS kajian 2-7

Jawaban UTS kajian 2-7

oleh 2003401051078 Muhammad Hanifudin Silmi -
Jumlah balasan: 0

Nama : Muhammad hanifudin silmi

Nim : 2003401051078

Prodi : Agribisnis L

Kajian 2

Biografi singkat al maturidi

Imam Abu Mansur Al-Maturidi, atau lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-Hanafi adalahimam aliran ahliaqidah Maturidiyyah serta seorang ahli ilmu kalam. Imam Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah pemukiman di kota Samarkand yang terletak di seberang sungai (Urbekistan Sovyet) tahun 250 H dan wafat tahun 333 H.

Pada masanya, negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan antara aliran fiqih Hanafiyah dengan aliran fiqih Syafi’iyah. Termasuk perdebatan-perdebatan antara fuqaha dan ahli-ahli hadist dengan aliran Mu’tazilah dalam soal-soal ilmu Kalam.Negara-negara yang mayoritas umat islmanya berhaluan Ahlusunnah Waljama’ah yaitu: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, India, Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somali,sudan dan masih banyak lagi.

Golongan Maturidiyah adalah golongan rasionalis yang diatributkan kepada Al Maturidi. Sumber Ushulud Dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al Quran dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu.Al Maturidiyah didirikan dalam rangka untuk mengkounter golongan yang lain (seperti Mu’tazillah dan Ash’aris), akan tetapi tidak disebut Al Maturidiyah hingga setelah kematian nya.

Kajian ke 3

1. Keesaan Allah

Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di atas.14 Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22.15 Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.

2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)

Kebebasan berkehendak menurut Sayyid Mujtaba Musawi mengutip Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah pernah ditanya apakah Allah mengatur perbuatan manusia dan juga mentakdirkan sepenuhnya nasib manusia, Imam Ali menjawab, “Seandainya segala perkara seperti itu dan setiap ketentuan sudah diputuskan (dimana manusia tidak memiliki kehendak bebasnya,) maka batallah hukum pahala dan dosa, gugurlah janji dan ancaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambanya dengan memberikan kebebasan memilih (takhyīran)” (Musawi, 2004).

Dengan berdasarkan keterangan dari Imam Ali di atas, menyiratkan bahwa sebenarnya kebebasan adalah fitrah manusia. Manusia diberikan kebebasan mutlak untuk memilih dan mengambil jalan hidupnya. Sebab, jika manusia terkurung secara ketat oleh “qadar” atau takdir Tuhan, maka secara logis manusia tidak memiliki pilihan dalam hidupnya, sehingga tidak berguna para Nabi atau ulama menerangkan kepada manusia.

Dalam pandangan Islam, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas. Ia bebas untuk berpikir, bertindak, dan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya. Ia bebas pula dalam mencari kebahagiaannya. Sebab, hanya dengan kebebasan kita meyakini tentang tanggung jawab dan pilihan atas tindakan manusia.

3.Akal dan Wahyu

Akal dan Wahyu Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang tertulis, yang didalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dari akal, dan di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi. Tidaksedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan memepergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya‘aqala saja.Al-Quran menyebutkan kurang lebih 49 kata ‘aql yang muncul secara variatif.

Kajian 4

1.akal dan wahyu

Tentang Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Al-Maturidi akal manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah. Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumu. Sebab hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya. Begitu pula akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk (Al-Ahkam at-taklifiyyah) Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202).

3. Perbuatan Manusia

Kalau menurut paham Mu’tazilah, yang mengambil dari faham Qadariyah, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Sedangkan faham Asy’ariyah yang dekat dengan faham Jabariyah menyatakan, bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan al-Kasb (perolehan) dari manusia, yang dengan adanya al-Kasb ini mengakibatkan adanya taklif, pahala serta siksa. Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia

4. Kekuasaan tuhan dan kehendak tuhan

Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim. Pendapat Maturidi itu menurut Abu Zahrah sebenarnya mendekati paham Multazilah atau hampir sama dengan Mu’tazilah. Ibrahim Madkur mengemukakan bahwa kaum Maturidiyyah menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dari sifat-sifat wujud yang baru.

5. Sifat tuhan

Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda. Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya. Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya. Penjelasan yang berbeda tentang ini diberikan oleh Syekh Abu Zahrah. Kata Abu Zahrah (1946:207-208), Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim.

Kajian 5

problematika dan konseptual masyarakat NU banyak di rasakan hususnya di bidang rohani, dan juga pada zaman saat ini yaitu mirisnya tentang pengetahuan agama di sni NU berperan penting untuk generasi bangsa untuk meningkat kan ahklak generasi bangsa,karna tujuan NU didirikan adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal-Jamaah dengan mengikuti pola madzhab empat yaitu imam Syafi’i , imam Hanafi ,imam Maliki dan imam Hambali.

Kajian 6

Pengertian ASWAJA tersebut dalam sejarah pemikiran Islam kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan vis a vis Mu’tazilah maupun Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah, bahwa kemunculan ASWAJA sebagai kelompok adalah lahir sebagai sebuah reaksi terhadap kelompok Mu’tazilah yang dianggap “sesat” karena terlalu mendewakan akal daripada wahyu. Dari benih perbedaan “peran akal” inilah yang kemudian berlanjut pada perbedaan di hampir seluruh problema teologis antara keduanya. Dan perlu diketahui, bahwa perbedaan itu berkisar pada persoalan-persoalan metafisik yang bersifat spekulatif dan relatif misalnya perbedaan tentang “apakah Tuhan itu bisa dilihat di akhirat nanti”, “apakah Tuhan punya tangan atau kekuasaan”, “apakah al-Qur’an itu qadim atau baru (hadis)”, dan seterusnya.

Itulah pengergian ASWAJA sebagai fenomena gerakan dalam sejarah pemikiran Islam. Kemudian secara spesifik lagi, NU membuat rumusan ASWAJA sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti salah satu imam al-Junaidi atau al-Ghazali.

Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran untuk menjadi pegangan hidup manusia termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau Sunnah Rasul. Al-Qur’an sebagai wahyu yang memuat ajaran-ajaran tidak bisa dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik pula. Di sini yang bisa menjelaskan dan menterjemahkan al-Qur’an secara tepat adalah Rasul itu sendiri. Oleh sebab itu pada saat Rasul masih hidup segala persoalan yang berkaitan dengan agama dapat dijelaskan oleh beliau, sebab apa yang diucapkan oleh Rasul adalah wahyu juga. Hadis atau sunnah sendiri berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk-petunjuk yang belum termaktub dalam al-Qur’an. Tetapi begitu Rasul meninggal maka persoalan agama menjadi pekerjaan rumah umat untuk bisa memahami sendiri melalui ijtihadnya masing-masing. Persoalan-persoalan yang muncul setiap kurun sangat beragam dan bertambah kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid atau aimmat al-mazhab, yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh imam mujtahid atau mazhab tersebut.

Kajian 7

Imam Abu Hanifah (w. 767 M). Ia dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau Imam ahl al-Ra’y, tokoh aliran rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Sebuah kota metropolitan dan salah satu pusat peradaban dunia. Ia seorang pedagang kain. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.” (Mazhab ini diperkirakan dianut oleh sekitar 45% muslim di dunia)

Imam Malik bin Anas (w. 795 M) disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat Madinah. Ia banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat ia menghabiskan usianya. Imam Malik dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum. Bahkan dikatakan ia seringkali lebih mengutamakan praktik tradisi Madinah itu daripada hadits Ahad. Imam Malik menganggap praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar kata-kata. Ia dianggap sebagai kesepakatan penduduk Madinah yang memilki sumber dari sahabat dan dari Nabi. (Mazhab ini dianut oleh sekitar 25 % muslim di dunia).

Imam Al Syafi’i (w. 820 M) disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Ia melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian tinggal di Baghdad, Irak, dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya pindah ke Mesir. Ia menetap di sana sampai wafatnya. Ia diikuti oleh kirang lebih 28 % muslim dunia).

Ahmad bin Hanbal (w. Hp 855 M) disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya Imam kaum fundamentalis. Ia seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Al-Thabari, guru besar ahli tafsir, bahkan menyebut Ahmad bin Hanbal sebagai ahli hadits dan bukan ahli fiqh. Ia sering disebut juga pemimpin kaum “salafi”. (Pengikutnya hanya 5% dan sekarang menjadi mazhab hukum di Arab Saudi).