UTS

Jawaban UTS kajian 2 - kajian 7

Jawaban UTS kajian 2 - kajian 7

oleh 2003401051073 FATMA NUR LAILI -
Jumlah balasan: 0

Nama.        : Fatma Nur Laili

Nim.            : 2003401051073

kelas.          : L

Mata kuliah : Aswaja An-Nahdliyah

Kajian 2


A.) Al- Maturidi dilahirkan di desa Matrid, Samarkand sekarang termasuk bagian dari negara Uzbekistan. Mengenai tahun kelahirannya, Dr. Muhammad Ayyub menyatakan Abu Manshur al-Maturidi lahir sekitar sebelum tahun 238 H. Ia hidup di zaman kemajuan daerah Asia Tengah sebagai pusat peradaban Islam. Di antara ulama besar yang sezaman dan berasal dari satu daerah dengan beliau adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (w. 256 H) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur (w. 261 H).

B.) 1.  Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda.  Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya.  Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya.

2.Tentang Anthropomorphisme Anthropomorphisme atau at-tasybih, yaitu paham yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota badan atau Allah mempunyai sifat-sifat Jasmaniyah yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Al-Maturidi menolak faham di atas. Kata Al-Maturidi bahwa Allah harus disucikan dari sifat-sifat jasmani, tempat dan waktu, maka apabila terdapat ayat-ayat yang menunjukkan sifat-sifat tersebut, seperti  Allah memiliki muka, tangan, mata, kaki dan lain sebagainya harus dita’wilkan. Maka ayat yang berbunyi: ونحن اقرب اليه من حبل الوريد (ق: 16) "Dan Kami lebih Hekat kepadanya dari urat nadi”  dita’wil oleh al- Maturidisebagai isyarat kepada kerajaan Allah dan kesempurnaan kekuasaannya. Dengan paham ini al-Maturidi lebih dekat dengan Mu’tazailah.

3.Tentang Al-Our’an Tentang Al-Qur'an makhluk atau bukan, maka Maturidi menetapkan bahwa kalamullah adalah makna  yang berdiri pada zat-Nya dan dengan demikian merupakan satu sifat dari sifat-sifat yang berhubungan dengan zat-Nya, qadim –dengan qadimnya zat Yang Maha Tinggi—tidak tersusun dari kiata dan huruf. Adapun Al-Qur 'an al-Karim yang terdi  dari huruf dan kata, yang menunjuk kepada makna yang qadim adalah baru dan dengan demikian Maturidi sependapat dengan Multazilah.

C.) dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah ini terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Al-Bazdawi merupakan pengikut Al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Pengelompokan itu terjadi karena ada perbedaan pendirian mengenai wewenang akal. Bagi Maturidiyah Samarkand, akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan. Sementara itu, aliran Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk, sedangkan mengenai kewajiban manusia merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal.


Kajian 3

a.) Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, keesaaan Allah swt. ini mencakup keesaan Dzat, keesaan sifat, keesaan perbuatan, dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.




Keesaan Dzat berarti Allah swt. berdiri sendiri, tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian, yang membuat-Nya tidak membutuhkan sesuatu apapun. Keesaan sifat, maksudnya sifat yang dimiliki-Nya tidak sama, baik dalam substansi maupun kapasitas, dengan sifat makhluk. Keesaan dalam perbuatan artinya, segala sesuatu di alam raya ini merupakan hasil kuasa-Nya dan tak akan terjadi tanpa izin atau kehendak-Nya.


b.) kebebasan berkehendak adalah sesuatu yang bersyarat. Dimaksudkan bahwa dalam penerapan suatu kehendak dibatasi oleh hak orang lain dan harus dihargai karena hak melekat pada diri setiap manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat permanen.


c.) Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.


Kajian 4

a. Akal dan wahyu

Menurut Al Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu pada saat itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanya mengikuti ketentuan akal mengenaik baik dan buruknya sesuatu. Dengan demikian wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.


b.  Perbuatan manusia

Al-Maturidi  mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya.

c.  Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan : Al Maturidi mengatakan bahwa qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

d.  Sifat tuhan : Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham mu'tazilah. Perbedannya keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.


kajian 5

Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah dirumuskan ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji,  atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum  baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas untuk tidak mengatakan fanatik dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh. Di bidang teologi, banyak doktrin-doktrin yang kadang-kadang juga perlu kita tinjau ulang. Oleh sebab itu yang berlu kita sadari, bahwa ASWAJA itu merupakan pola pikir (manhaj al-fikr) yang sebagian relevan dan sebagian lain mungkin perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa memaksakan ASWAJA sebagai teologi kemapanan, tetapi ia merupakan khazanah, turats yang tidak selalu benar adanya. Dengan begitu, maka ASWAJA sebagai manhaj al-fikr tidak lain adalah proses dinamika pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah selesai.


Kajian 6

a.  1.) Madzhab Hanafi Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas. Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak. Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.


2.) Madzhab Maliki Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut. Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir. Madzhab ini lahir di Madinah 


3.) Syafi’iyah

Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris al-Syafi’i. Lahir pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena cukup lama menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid besar Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi buku pertama dalam bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam, yang disampaikan selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan yang disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru)[55]. Madzhab Syafi’i diakui sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah pengikutnya diseluruh dunia


4.) Hanabali

Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun 164 H, di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Beliau merupakan murid Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali mewariskan sebuah kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad Ahmad[57]. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan mengakar di tengah masyarakat.

b.  a.) Legitimasi kebolehan berijtihad, yaitu adanya legitimasi dari Allah swt. dan Rasulullah terhadap kegiatan ijtihad. 21 Bik >, Ta>ri>kh al-Tashri>‘ al-Isla>mi>, 180. 74 Volume 26 Nomor 1 Januari 2015 Sebab-sebab Terjadinya... Oleh: Reza Ahmad ZahidHal ini memberikan rangsangan kepada para mujtahid untuk mencari kebenaran hakiki tentang hukum masalah yang belum ditemukan hukumnya; b. )Perbedaan dalam memahami ayat-ayat z}anniyyat, ayat-ayat z}anniyyat adalah ayat-ayat yang memungkinkan setiap mujtahid memahami dan mengambil kesimpulan hukum yang berbeda dari ayat tersebut.

c. Perbedaan dalam menilai hadis;

d. Perbedaan dalam menilai posisi Muhammad saw., para mujtahid kadang-kadang berbeda dalam melihat nilai yang keluar (perkataan, perbuatan, dan penetapan) dari Nabi Muhammad saw. Apakah Nabi ketika berucap, bertindak atau menetapkan posisinya sebagai manusia biasa atau Rasulullah;

e. Perbedaan dalam menerapkan qa>’idah us}u>liyyah, para ulama terkadang berbeda dalam menerapkan qa>’idah us}u>liyyah, yaitu tata aturan yang berlaku dan dianut serta dijadikan dasar oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum;

f. Faktor diri mujtahid dan lingkungannya, perbedaan pendapat bisa muncul karena perbedaan kondisi diri mujtahid, baik yang menyangkut latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan, watak, pengalaman dan kepandaiann

c.  Ahlul Hadits adalah orang-orang atau golongan yang dalam menetapkan hukum berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad Shallahu'alaihi wassalam.[1] Mereka juga umum disebut golongan Atsari dan Hanbali (berkaitan tapi tidak selalu sama dengan mazhab Hanbali di ranah fiqih).[1] Istilah ini timbul pada masa ke dua dari sejarah pembinaan hukum Islam, dimulai sejak wafatnya Rasulullah dan diakhiri pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah.[1] Masa ini dinamai pula dengan periode sahabat.[1] Dalam menetapkan hukum, sebagaian para sahabat Nabi dan pengikutnya membatasi diri pada sumber hukum yang terdiri dari AlQur’an dan Hadits.Mereka berpegang teguh pada dalil naqli (AlQur’an dan Hadits) untuk memurnikan ajaran Islam dari sumber sumber yang tidak jelas. Adapun jika suatu permasalahan tidak memiliki dalil maka mereka akan menggunakan ijtihad dan juga qiyas yang tentunya memiliki syarat syarat yang ketat sebagai kehati-hatian dalam membuat cabang hukum baru.

Ahlul Ra’yi adalah sebuah gerakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad, Irak, yang dalam mengambil sebuah fatwa terhadap ilmu fiqih lebih dominan berpikir dengan akal daripada hadist.[1] Tetapi, setiap fatwa yang dikemukakan tidaklah menyimpang dari nilai-nilai keislaman. Menurut Muhammad Ali Sayis bahwa munculnya aliran ini dipengaruhi oleh tiga faktor Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ijtihad. Minimnya mereka menerima hadist nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memilih hadist yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Irak seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya.[1] Di samping itu, mereka juga minim menggunakan hadist sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ijtihad.[1] Hal ini dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadist dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang ketat. Sehingga mempengaruhi jumlah hadist yang mereka gunakan sebagai dasar pengambilan sebuah fatwa.[1] Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini disebabkan oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadist yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit. Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum.[1] Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Irak, seperti; budaya Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya.[1] Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ijtihad.

d.  Arti penting pengetahuan sejarah pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah fiqih bagi kita dapat dilihat dari tiga alasan sebagai berikut: Pertama, kita dapat mengetahui kesungguhan para ulama dalam menciptakan pengetahuan tentang kaidah-kaidah fiqh sebagai pedoman umum yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah fiqih. Kedua, kesungguhan mereka tersebut dapat dijadikan sebagai i‟tibar atau pelajaran berharga sehingga mendorong kita untuk terus berkreasi, melanjutkan usaha keras mereka, dengan mempertahankan dan mengembangkan kaidah-kaidah fiqih dalam rangka memelihara eksistensi hukum Islam, terutama dalam menghadapi perubahan sosial. Ketiga, kaidah-kaidah fiqih yang secara historis telah dirumuskan oleh ulama dimasa yang lalu dapat langsung dimanfaatkan dalam menghadapi persoalan hukum Islam kontemporer, tanpa harus membuang energi lagi.

e. a). Mazhab Imam Abu HanifahImam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab Hanafi. Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi Rabah (W. : (114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M) maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]), Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-Hasan. Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal : Anas bin Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704 M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota Madinah serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110 H/729 M) di kota Makkah. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.

b). Madzhab Imam Malik              Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

c. Mazhab Imam Syafii

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia wafat pada 767 masehi 158 H.  Selamahidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid[20] Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

d. Mazhab Imam Ahmad 

Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula. Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil. Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal  Keponakannya, Hambal bin Ishaq.

F. KAUM SYIAH, GOLONGAN TERDEPAN YANG MEMALSUKAN HADITS Salah satu langkah yang ditempuh golongan batil untuk mencari pengikut, yaitu melalui pengadaan hadits-hadits palsu dan menyebarluaskannya di tengah manusia. Pasalnya, mereka tahu benar bahwa kaum Muslimin sangat mencintai sunnah (hadits-hadits) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin mengetahui lebih mendalam. Selanjutnya, mereka ini (golongan batil) mereka-reka hadits-hadits (palsu) dan menisbatkannya kepada Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kaum Muslimin mendengarkannya, umat akan memahami itu merupakan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menganggapnya sebagai kebenaran. 

Kaum Syiah, inilah golongan terdepan yang memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang paling nekat dalam usaha ini. Mereka sudah terbiasa berdusta dan berbohong. Orang yang sudah terbiasa berdusta, tidak akan berpikir panjang saat akan berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi atas nama manusia biasa. Kedustaan-kedustaan itu sama saja dalam pandangan mereka. Terutama bila tujuan mereka ialah untuk menyesatkan dan mendangkalkan keyakinan orang di luar kaum Syiah.

Kajian 7

a.  Imam Abu Hanifah (w. 767 M). Ia dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau Imam ahl al-Ra’y, tokoh aliran rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Sebuah kota metropolitan dan salah satu pusat peradaban dunia. Ia seorang pedagang kain. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.” (Mazhab ini diperkirakan dianut oleh sekitar 45% muslim di dunia)

b.  Imam Malik bin Anas (w. 795 M) disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat Madinah. Ia banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat ia menghabiskan usianya. Imam Malik dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum. Bahkan dikatakan ia seringkali lebih mengutamakan praktik tradisi Madinah itu daripada hadits Ahad. Imam Malik menganggap praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar kata-kata. Ia dianggap sebagai kesepakatan penduduk Madinah yang memilki sumber dari sahabat dan dari Nabi. (Mazhab ini dianut oleh sekitar 25 % muslim di dunia).

c.  Imam Al Syafi’i (w. 820 M) disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Ia melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian tinggal di Baghdad, Irak, dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya pindah ke Mesir. Ia menetap di sana sampai wafatnya. Ia diikuti oleh kirang lebih 28 % muslim dunia).

d.  Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya Imam kaum fundamentalis. Ia seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Al-Thabari, guru besar ahli tafsir, bahkan menyebut Ahmad bin Hanbal sebagai ahli hadits dan bukan ahli fiqh. Ia sering disebut juga pemimpin kaum “salafi”. (Pengikutnya hanya 5% dan sekarang menjadi mazhab hukum di Arab Saudi).