kajian ke 4

doktrin Aqidah Aswaja al-Maturidi

doktrin Aqidah Aswaja al-Maturidi

oleh 2003401051029 MUJIBUR ROHMAN -
Jumlah balasan: 0

Tentang Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu Menurut Al-Maturidi akal manusia mampu mengetahui (ma’rifat) Allah. Karena hal ini sesuai dengan perintah Allah kepada kita agar selalu memikirkan kekuasaannya baik di langit maupun di bumu. Sebab hal ini akan menyampaikan manusia untuk menqetahui dan mengimaninya. Begitu pula akal manusia semata dapat mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat atau buruk (Al-Ahkam at-taklifiyyah) Sedang menurut Al-Bazdawi, bahwa al-Maturidi sependapat dengan Multazilah, bahwa percaya kepada Allah dan berterima kasih kepadanya sebelum datangnya wahyu adalah wajib (Abu Zahrah, 1946:201-202). Dengan demikian jelas sekali kedudukan akal kuat sekali menurut Al-Maturidi karena akal semata dapat mengetahui Allah, berterima kasih kepadanya, mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan wahyu di sini berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat diketahui akal, yaitu mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk. Menurut Abu Uzbah, Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah menyatakan, bahwa kematangan akal lah yang menentukan kewajiban-kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak., bukan tercapainya usia dewasa oleh anak itu. Selanjutnya Maturidi berpendapat bahwa akal manusia dapat mengetahui kewajiban berterima ksih kepada Tuhan, karena Ia adalah pemberi nikmat yang terbesar dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat (Harun Nasution, 1989:89-90). Akal dalam paham Maturidi selain mampu mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahuinya dan bertterima kasi h kepadanya juga mampu mengetahui bai k dan buruk. Menurut tulisan Muhammad Abduh Maturidiyyah dan Mu’tazilah sependapat bahwa perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan nature (sifat dasar) suatu perbuatan. Dengan kata lain, upah dan hukuman digantungkan pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kata Maturidi akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam perbuatan baik dan sifat buruk pada perbuatan yang buruk pengetahuan inilah yang menyebabkan akal berpendapat bahwa mesti ada perintah dan larangan Tuhan. Adanya perintah dan larangan Tuhan adalah wajib menurut akal, kata Maturidi. Mengenai kewajiban manusia sebelum datangnya wahyu untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk tidak dijumpai pendapat Maturidi (Harun Nasution, 1989:89-90).

Tentang Perbuatan Manusia Kalau menurut paham Mu’tazilah, yang mengambil dari faham Qadariyah, bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Sedangkan faham Asy'ariyah yang dekat dengan faham Jabariyah menyatakan, bahwa perbuatan manusia adalah diciptakan oleh Allah dan al-Kasb (perolehan) dari manusia, yang dengan adanya al-Kasb ini mengakibatkan adanya taklif, pahala serta siksa. Maka faham Al-Maturidi menyatakan, bahwa segala sesuatu termasuk perbuatan manusia adalah diciptakan Allah sesuai dengan firmannya: (والله خلقكم وما تعملون (الصفا ت:96 Lantas timbul permasalahan, bagaimana cara memadukan konsep adanya usaha manusia dan konsep perbuatan manusia itu sebagai ciptaan Allah ciptaan Allah? Untuk menjawab permasalahan ini Al-Maturidi seperti Al-Asy’ari, menggunakan term al-Kasb. Akan tetapi teori al-kasb Maturidi berbeda dengan teori al-Kasb Al-asy'ari. Kalau teori al-Kasb Al-Asy'ari menyatakan bahwa kebersamaan antara perbuatan manusia ciptaan Allah dan usaha manusia yang statusnya pasip, sehingga al-Kasb itu sendiri adalah ciptaan Allah, maka teori al-Kasb Al-Maturidi menyatakan, bahwa al-Kasb adalah suatu daya yang dititipkan Allah kepada manusia dan manusia bebas memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Dengan kebebasan memilih inilah maka ada pahala dan siksa. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara, perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah dan ikhtiar manusia. Dalam hal perbuatan manusia ini dapat dikatakan bahwa Al-Maturidi berada diantara pendapat Mu’tazilah dan Al-Asy’ari. Jelasnya kalau Mu’tazilah berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri, lalu Al-Asy'ari berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sedikitpun untuk menciptakan perbuatannya melainkan hanya memilik al-Kasb yang bersifat pasif, maka Al-Maturidi berpendapat bahwa al-kasb adalah bersifat aktif dan manusialah yang menentukan. Adapun perbedaannya dengan Mu'tazilah mengenai keberadaan daya sebelum adanya perbuatan, maka Al-Maturidi berpendapat bahwa keberadaan daya (istithalah) muncul bersama-sama dengan perbuatan (Abu Zahrah, 1946:208 dan lihat As-Syahrastani, tt:97). Dari pendapat Al-Maturidi ini nampak jelas adanya usaha untuk menseimbangkan antara kemutlkan kekuasaan dan kemahaadilan-Nya, dimana ia tetap mengakui bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah tetapi manusia memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Dengan demikian manakala manusia memilih berbuat maksiat akan mendapatkan siksa. Ini sesuai dengan keadilan Allah, janji dan ancamannya. Hanya saja perlu ditegaskan pula bahwa dalam hal ikhtiar atau kebebasan memilih, pendapat Al-Maturidi tidak seluas pendapat Mu’tazilah, karena menurut Al-Maturidi perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Allah bukan atas kehendak manusia. Oleh karena masalah ini dengan masalah ikhtiar dirasa bertentangan maka Al-Maturidi membawa ke teori masyiah atau kemauan dan ridla atau kerelaan. Manusia berbuat baik dan berbuat buruk atas kehendak Allah, tetapi Allah tidak rela manusia berbuat buruk. Untuk itu apabila manusia berbuat baik, atas kehendak dan kerelaan Allah, tetapi apabila berbuat buruk atau jahat atas kehendak Allah namun tidak diridlai-Nya. Maturidi menurut hasil penelitian Harun Nasution (1989:113) mempunyai paham Qadariyyah dan bukan paham Jabbariyah atau Kasab Asy'ari. Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah dalam menegaskan bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebagai pengikut Imam Abu Hanifah, Maturidi membagi perbuatan itu kepada dua, yaitu perbuatan Tuhan yang mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan perbuatan manusia yang mengambil bentuk pemakaian daya itu berdasarkan pilihan dan kebebasan manusia. Daya diciptakan Tuhan bersama-sama dengan perbuatan manusia dan atas dasar itulah dikatakan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan yang diciptakan itu diperoleh manusia dengan peranan efektif dari pihak manusia, yakni dengan menggunakan daya yang diciptakan itu manusia bisa juga tidak menggunakannya, sehingga tidak memperoleh perbuatan. Memang Maturidi juga mempunyai paham kasab, tetapi esensi paham kasab Maturidi berbeda jauh dari paham kasab Asy’ari . Kasab asy'ari seperti kata Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah, adalah jabariyyah penuh karena selain perbuatan diciptakan Tuhan juga kasab dalam paham Asylari diciptakan Tuhan, tidak ada peranan efektif dari manusia dalam memperoleh suatu perbuatan dan tidak ada peranan efektif dari pihak manusia dalam kasab Asy’ari (Harun Nasution, 1989:106-107, lihat pula Abu Zahrah, 1946:205). Kasab Maturidi tidak seperti kasab Asylari, esensi kasab Maturidi tidak lain dari qadariyyah kendati Maturidi tidak mau menyebut bahwa perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya itu adalah perbuatan yang diciptakan manusia. Dalam ungkapan Maturidi perbuatan manusia tetap ciptaan Tuhan tetapi manusia sanggup mendapatkan perbuatan itu dengan daya yang diciptakan dalam dirinya dan juga sanggup tidak memperolehnya dengan daya yang diciptakan Tuhan itu. Manusia bebas memilih untuk mendapatkan atau untuk tidak mendapat suatu perbuatan. Pada kebebasan memilih itulah tergantung adanya pahala dan siksaan. Demikianlah Maturidi berusaha menuniukkan peranan efektif manusia dalam memperoleh suatu perbuatan tanpa menafikah bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan. Bila kasab Asylari mengandung arti "memperoleh/menerima perbuatan secara pasif", maka kasab Maturidi mengandung arti "mengusahakan secara aktif/efektif sehingga memperoleh suatu perbuatan" (A. Aziz Dahlan, 1987 :110.19). Kebebasan manusia dalam paham Maturidi adalah kebebasan dalam mentaati atau melanggar apa yang diperintahkan/dilarang Tuhan. Apa yang diperintahkan Tuhan adalah perbuatan yang baik yang diridlainya dan apa yang dilarangnya adalah perbuatan buruk yang tidak diridlainya. Bila dalam paham Maturidi dikatakan bahwa manusia tidak bisa melanggar kehendak Tuhan., maka hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak mempunyai pilihan dan kebebasan. Tuhan dalam paham Maturidi menghendaki yang baik dan yang buruk dengan demikian manusia tidak dapat melanggar kehendak Tuhan. Bila dibandingkan dengan paham Multazilah, maka ungkapan kaum Mu’tazilah lain. Menurut Mu’tazilah manusia dapat melanggar kehendak Tuhan. Terdapat perbedaan ungkapan antara paham Maturidi yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melanggar kehendak Tuhan dengan paham Mu'tazilah yang menytakan bahwa manusia dapat melanggar kehendak Tuhan. Dalam paham Maturidi yang dapat dilanggar bukan kehendak Tuhan, tapi perintah atau larangannya. Bagaimanapun berbedanya ungkapan tersebut namun kebebasan manusia dalam paham Maturidi tidaklah lebih sempit dari kebebasannya dalam paham Mu’tazilah. Dalam paham Mu’tazilah manusia bebas untuk mentaati atau mendurhakai kehendaknya dan yang dikehendaki Tuhan adalah apa yang diperintahkannya yakni perbuatan baik yang tentu diridlainya, sedang perbuatan buruk yang dilarangnya adalah perbuatan yang tidak dikehendakinya. Dalam paham Maturidi manusiapun bebas untuk mentaati atau mendurhakai apa yang diridlainya dan yang diridlainya itu tidak lain dari apa yang diperintahkannya yakni perbuatan yang baik. Jelas bahwa Maturidi dan Mu'tazilah sepaham bahwa manusia sanggup mentaati perintah Tuhan dan juga sanggup mendurhakai perintahnya. Disinilah letak sama luasnya kebebasan kehendak manusia dalam paham Maturidi dan Mu’tazilah. Tidak bebasnya manusia --dalam paham Maturidi-- untuk melanggar kehendak Tuhan sejalan dengan paham Mu’tazilah yang juga menyatakan bahwa manusia tidak bisa melanggar sunnatullah, yang tidak lain dari manifestasi kehendaknya. Tuhan dalam paham Mu’tazilah menghendaki manusia bisa mentaati perintahnya dan bisa melanggarnya. Dapat dikatakan bahwa apa yang diperintahkan Tuhan menurut paham Multazilah adalah kehendaknya yang khusus dalam kehendaknya yang umum berupa sunnatullah. Manusia dalam paham Mu'tazilah dapat melangar kehendak khusus dari Tuhan (yakni perintahnya) tapi tidak dapat melanggar kehendaknya yang umum (yakni sunnatullah), sebagaimana manusia dalam paham Maturidi tidak dapat melanggar kehendak Tuhan tapi dapat melanggar perintah-perintah-Nya (A. Aziz Dahlan, 1987:111).

Tentang Anthropomorphisme Anthropomorphisme atau at-tasybih, yaitu paham yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anggota badan atau Allah mempunyai sifat-sifat Jasmaniyah yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Al-Maturidi menolak faham di atas. Kata Al-Maturidi bahwa Allah harus disucikan dari sifat-sifat jasmani, tempat dan waktu, maka apabila terdapat ayat-ayat yang menunjukkan sifat-sifat tersebut, seperti Allah memiliki muka, tangan, mata, kaki dan lain sebagainya harus dita’wilkan. Maka ayat yang berbunyi: ونحن اقرب اليه من حبل الوريد (ق: 16) "Dan Kami lebih Hekat kepadanya dari urat nadi” dita’wil oleh al- Maturidisebagai isyarat kepada kerajaan Allah dan kesempurnaan kekuasaannya. Dengan paham ini al-Maturidi lebih dekat dengan Mu’tazailah. Begitu pulka dalam menafsirkan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan dan kekuatan Allah (Abu Zahrah, 1946: 207 208).

Tentang Sifat Allah Mengenai pendapat Maturidi tentang sifat-sifat Allah ini terdapat dua penjelasan yang berbeda. Harun Nasution menjelaskan, Maturidi sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, yang lain dari zatnya. Kata Maturidi Allah mengetahui bukan dengan Zat-Nya tapi dengan pengetahuannya (dengan sifat pengetahuan) dan berkuasa bukan dengan zatnya. Penjelasan yang berbeda tentang ini diberikan oleh Syekh Abu Zahrah. Kata Abu Zahrah (1946:207-208), Maturidi menetapkan adanya sifat-sifat Allah, tapi sifat-sifat itu bukan sesuatu yang lain dari zat; sifat-sifat itu bukanlah sifat-sifat yang berdiri dengan zat, tidak pula terpisah dari zat. Sifat-sifat itu tidak memiliki wujud yang lepas dari zat, sehingga tidak daqat berbilangnya sifat membawa kepada berbilangnya wujud yang qadim. Pendapat Maturidi itu menurut Abu Zahrah sebenarnya mendekati paham Multazilah atau hampir sama dengan Mu'tazilah. Ibrahim Madkur mengemukakan bahwa kaum Maturidiyyah menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dari sifat-sifat wujud yang baru. Selanjutnya dikemukakan sebagai berikut: فالله عالم بعلم لا كالعلوم وقادر بقدرة لا كالقدر (Maka Allah mengetahui dengan ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu yang lain, dan berkuasa dengan kekuasaan yang tidak seperti kekuasaan-kekuasaan lain). Sementara kaum Asy'ariyyah memandang Al-Baqa’ sebagai sifat tambahan atas zat ( (زائدة على الذاتmaka kaum Maturidiyyah mengingkarinya. Dalam keterangan Ibrahim Madzkur disebutkan juga bahwa kaum Maturidiyyah seperti halnya kaum Asy’ariyah, menetapkan sifat-sifat Zatiyah seperti: ‘ilm, qudrah, iradah dan lain-lain serta memandang sifat-.sifat tersebut sebagai makna qadim yang beridiri pada zat Allah, tapi sifat-sifat itu bukanlah zatnya dan bukan pula lain dari zat-Nya (A. Aziz Dahlan, 1987:113). Demikianlah kita jumpai dua penilaian. Di satu sisi menyatakan, bahwa Maturidi sepaham dengan Asy’ariyyah dan di sisi lain menyatakan, bahwa Maturidi hampir sepakat dengan Mu’tazillah.