UTS

Sudahri

Sudahri

by 2003401051041 SUDAHRI -
Number of replies: 0


Kajian 2

A.) Biografi Singkat Al-Maturidi

Abu mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkhand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah yang sekarang di sebut Uzbekistan . Tahun kelahirannya tidak di ketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke 3 Hijriyah ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

B.) Pemikiran imam Muhammad Abu Manshur al-Maturidi sebagai peletak dasar teologi aswaja

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada al-qur'an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yg diberikannya kpd akal lebih besar dari pd yg diberikan Al-Asyari.

C.) Proses Perkembangan Teologi Al-Maturidi Di Samarkand Dan Bukhara

sejarah perkembangan teologi Islam sebagai fakta dan realita yang mengungkapkan pemikiran-pemikiran tokoh itu tidak selamanya sama dengan pengikutnya. Dengan kata lain tidak mutlak antara seorang murid dengan gurunya mempunyai pemikiran yang selalu sama.


Kajian 3

1. Keesaan Allah  

Tauhid Menurut Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari

Dalam pemaparannya mengenai aqidah ashhab al-hadits dan ahl al-sunnah, Imam Al-Asy’ari menulis ”Bahwa Allah SWT Tuhan Yang Esa (Wahid), Tunggal (Fard), Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan selain-Nya”.

2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)  

Untuk menjawab pertanyaan ini, al-Ash'ari mengambil jalan tengah antara dua pendapat aliran Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Qadari berpandangan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan kemauan dan tindakannya secara bebas dan bahwa potensi tersebut telah diciptakan oleh Tuhan dalam tubuh manusia. Sekte Jabariyah memiliki keyakinan, bahwa setiap manusia dipaksa oleh takdir tanpa ada pilihan dan usaha dalam tindakannya. Di sisi lain, Jabariyah berpandangan fatal.

3. Akal dan Wahyu  

Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.

Bagi kaum al-Asy’ari, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada, kata al-Ghazali manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn berkewajiban berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah.

Dengan demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas membela keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan menempatkan sebagai dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.

Kajian 4

1) Menurut Aliran Mu’tazilah. Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui akal.

2.Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu'tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy'ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Semarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam kata arti sebenarnya, dan bukan dari kiasan. Perbedaannya dengan Mu'tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak di ciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih kecil dari pada daya yang terdapat dalam faham Mu'tazilah. oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mu'tazilah.

3.Aliran Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa kekuasaan tuhan bersiafat mutlak dan hanya dimiliki oleh tuhan. Tuhan berbuat apa yang dikehendakinya, dan tuhan tidak berbuat apa yang tidak dikehendakinya serta menentukan segalagalanya. Tuhan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap manusia, dan tidak ada zat apapun yang dapat menentang atau melarang tuhan untuk berbuat sesuatu. Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janjiNya, memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.

4.Pendapat aliran Maturidiyah mengenai sifat tuhan sama dengan pendapat Asy'ariyah yang menyatakan bahwa tuhan memiliki sifat. Maturidiyah berpendapat bahwa sifat sifat tuhan itu mulazamah (ada bersama; inhern) zat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al-zat wa la hiya ghairuhu). Maturidiyah menetapkan sifat bagi Allah Swt tidak harus membawa kepada pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak berwujud yang terpisah dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama). Tampaknya paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham mu’tazilah. Perbedaannya, al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.

Kajian 5

Problematikmerupakan persoalan kareba menyangkut tata kelakuan yang abnormal, amoral, berlawanan dengan hukum, dan bersifat merusak. Problematik konsep tual aqidah menyangkut nilai-nilai sosial dan moral yang menyimpang sehingga perlu diteliti, ditelaah, diperbaiki, bahkan mungkin untuk dihilangkan. Problema sosial yang terjadi dan dihadapi masyarakat banyak ragamnya. Sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Salah problematik ialah faktor kebudayaan, seperti perceraian, kejahatan, kenakalan anak, konflik ras, dan konflik agama.

Kajian 6

Memahami hakikat aswaja perspektif historis tidaklah bisa diabaikan. Tentu,

tidak dengan cara memahami dan menghayatinya secara pasif, stagnan, lebih-lebih

mengkultuskannya (sebagai doktrin). Lebih dari itu, bermaksud ingin

memposisikannya sebagai hazanah peradaban hidup yang dinamis dan progresif yang

senantiasa terbuka untuk melakukan proses dialektika sesuai dengan tuntutan

situasional dan kondisional kerangka pemahaman anak zaman yang dominan. Dengan

cara itu, sifat dinamis hazanah peradaban mulai dari bagaimana para ulama dan pakar

ketika itu mengkonsepsikan, mendoktrinkan, dan mengimplementasikannya sebagai

wujud tesis mereka yang monumental kala itu, hingga melahirkan antitesis-antitesis

dan sintesis-sintesis baru yang menzaman. Logika di atas mengantarkan suatu

pemahaman bahwa tidak ada sesuatu yang kekal, tetap dan bertahan di dunia ini

kecuali perubahan-perubahan itu sendiri.

Kajian 7

1.Imam Abu Hanifah (w. 767 M). Ia dipandang sebagai Imam al Mujaddidin atau Imam ahl al-Ra’y, tokoh aliran rasionalis. Abu Hanifah adalah penduduk asli Kufah, Irak, keturunan Persia, Iran. Sebuah kota metropolitan dan salah satu pusat peradaban dunia. Ia seorang pedagang kain. Diriwayatkan orang bahwa dia pernah berkata : “Pengetahuan yang menjadi milik kita adalah pendapat pikiran kita. Inilah yang terbaik yang dapat kita capai. Mereka yang memiliki pikiran yang berbeda adalah hak mereka sebagaimana kita berhak atas pikiran kita.” (Mazhab ini diperkirakan dianut oleh sekitar 45% muslim di dunia)

2.Imam Malik bin Anas (w. 795 M) disebut sebagai Imam al Muhafizhin atau tokoh yang kuat memegang tradisi masyarakat Madinah. Ia banyak mempertimbangkan tradisi Madinah, tempat ia menghabiskan usianya. Imam Malik dikenal banyak menggunakan tradisi Madinah sebagai dasar hukum. Bahkan dikatakan ia seringkali lebih mengutamakan praktik tradisi Madinah itu daripada hadits Ahad. Imam Malik menganggap praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik dalam bentuk perbuatan, bukan sekadar kata-kata. Ia dianggap sebagai kesepakatan penduduk Madinah yang memilki sumber dari sahabat dan dari Nabi. (Mazhab ini dianut oleh sekitar 25 % muslim di dunia).

3.Imam Al Syafi’i (w. 820 M) disebut Faruq sebagai Imam ahl al Wasath wa al I’tidal atau tokoh moderat. Ia melalui kehidupan pertamanya di Hijaz dan pernah hafal hadits-hadits Muwatha karya Imam Malik, kemudian tinggal di Baghdad, Irak, dan sempat belajar pada Muhammad bin Hasan al Syaibani (749-804 M) salah seorang murid utama Abu Hanifah, dan akhirnya pindah ke Mesir. Ia menetap di sana sampai wafatnya. Ia diikuti oleh kirang lebih 28 % muslim dunia).

4.Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) disebut sebagai Imam mutasyaddidin atau tokoh yang sangat ketat dalam menggunakan pendekatan tekstual. Sebagian orang modern menyebutnya Imam kaum fundamentalis. Ia seorang muhaddits (ahli hadits) besar. Al-Thabari, guru besar ahli tafsir, bahkan menyebut Ahmad bin Hanbal sebagai ahli hadits dan bukan ahli fiqh. Ia sering disebut juga pemimpin kaum “salafi”. (Pengikutnya hanya 5% dan sekarang menjadi mazhab hukum di Arab Saudi).