kajian ke 7

Pemikiran imam yg 4

Pemikiran imam yg 4

oleh 2003401051029 MUJIBUR ROHMAN -
Jumlah balasan: 0

Pola Pemikiran Imam Abu Hanifah

Menurut sejarahwan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan

Abbasiyyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di Kuffah yang

ditawarkan oleh Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan teteapi Abu Hanifah

menolaknya. Pada masa dinasti Abbasiyah, Abu Ja‟far al-Mansur pernah pula meminta

kedatangannya di Baghdad untuk diberi jabatan sebagi hakim, namun ia menolaknya.

Akibat penolakan itu ia penjarakan sampai meninggal dunia.

Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada

masa dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah

yang naik tahta, terjadi di Kuffah sebagai ibukota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad.

Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja‟fat al-Mansur (754 –

775 M), sebagai ibukota kerajaan tahun 762 M.

Imam Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah

seringkali mengajak bermunadarah,, membahas dan berunding, serta bertukar pikiran

dengan para murid atau para sahabat beliau yang dekat, tentang masalah hokum qiyas,

dengan cara bebas merdeka, dan para murid beliau pun mebantah dan menolak alas an-

alasan yang dikemukakan oleh beliau. Dalam hal ini beliau berkata: “Saya istihsan”. Yakni:

“Saya mencari kebaikan”. Dengan demikian, para muridnya beliau lalu tunduk dan

mengikuti keputusan beliau yang dikatakan dengan istihsan tadi.

Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar

di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi

salah seorang ulama besar dan al-Ima>m al-A„z}am.. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah

sebagai kota terror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Bashrah dan Kufah di

Irak melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang: seperti ilmu sastera, teologi, tafsir

fiqh, hadis dan tasawuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di

tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan

tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran

Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar

belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang

ada.

Abu hanifah dikenal sebagai ulama ahl al-ra‟yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik

yang diistinbatkan dari al-Qur‟an ataupun hadis, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau

mengutamakan ra‟yi daripada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau

menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.

Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri,

“Sesungguhnya saya mengambil Kitab Suci al-Qur‟an dalam menetapkan hukum, apabila

tidak didapatkan dalam al-Qur‟an, maka saya mengambil Sunnah Rasulullah SAW yang

sahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya. Apbila saya tidak menemukan dari

keduanya, maka saya mengambil pendapat orang-orang yang terpercaya yang saya

kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai

kepada Ibrahim al-Sya‟bi, Hasan ibn Sirin dan Sa‟id ibn Musayyab, maka saya berijtihad

sebagaimana mereka berijtihad.

Dalam kesempatan lain Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar

hokum dalam al-Qur‟an, kalau tidak ada, saya cari dalam Sunnah Nabi, kalau juga tidak

ada, saya pelajari fatwa-fatwa para Sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap kuat….

Kalau orang melakukan ijtihad”.

Pola Pemikiran Imam al-Syafi’i

Aliran Imam al-Syafi‟i sama dengan Imam Madhhab lainnya dari Imam-imam

madhhab empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibn Hanbal adalah termasuk

golongan ahl al-Sunnah wa al-jama‟ah. Ahlu Sunnah wa al Jama‟ah dalam bidang furu„

terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran ahl al-hadis dan aliran ahl al-Ra‟yi.42 Imam al-Syafi‟i

termasuk ahl al-hadis. Imam al-Syafi‟i sebagai imam Rihal fi Thalab al-Fiqh, pernah pergi ke

Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dan pergi ke Irak untuk menuntut ilu

kepada Muhammad ibn Hasan, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Karena itu,

meskipun Imam al-Syafi‟i digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahl al-hadis, namun pengetahuannya tentang ahl al-ra‟yu tentu akan memberikan pengaruh kepada metodenya

dalam menetapkan hukum.

Para imam madzhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal masing-masing menawarkan metodologi tersendiri dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadikan pijakan dan landasan pengambilan hukum. Kajian hukum Islam para Imam madzhab telah teruji dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang sehingga dianggap cukup representatif untuk menjadi pegangan dalam beberapa masa. Imam Malik adalah seorang ahli hadis dan fiqh. Beliau dipandang sebagai rawi hadis madinah yang paling terpercaya dan sanad(sumber) nya paling thiqah. Imam Malik merupakan salah satu Imam Madzhab yang terkenal, dimana Imam Malik dalam berhujjah selalu bersumber dari Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’nya yakni amal perbuatan penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, amal perbuatan penduduk madinah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum karena amal perbuatan penduduk madinah sangat sesuai dengan perilaku Rasul. Maka Imam Malik mendahulukan amal perbuatan orang Madinah dari pada qiyas dalam berhujjah untuk menentukan hukum. Dari situlah, penulis tertarik untuk meneliti tentang biografi Imam Malik serta pemikiran hukum beliau. Dari penelitian penulis dengan membaca berbagai referensi didapatkan bahwa sebagian besar kehidupan Imam Malik (nama lengkapnya Malik Ibn Anas) lebih banyak dilaluinya di kota Madinah, sehingga dari sinilah merupakan faktor besar yang menjadikan alasan mengapa Imam Malik lebih cenderung memakai praktek penduduk Madinah (’Amal Ahl al-Madinah), dan memang kalau kita cermati bahwa di kota Madinah adalah tempat tinggal Nabi dan kota Madinah memang lebih bersuasana kampung yang bersahaja, sebuah kehidupan dimana yang membuat Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ sudah dapat dijadikan sebagai dasar acuan keputusan untuk menyelesaikan masalah. Metode-metode dan dasar-dasar Imam Malik dalam berijtihad adalah al-Qur’an, sunnah, praktek penduduk Madinah, fatwa sahabat, kias, al-maslahah mursalah, istihsan, dan az-Zara’i. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ciri khusus dari pemikiran Imam Malik adalah beliau memakai dasar praktek penduduk Madinah sebagai hujjah dalam menyelesaikan masalah hukum syari’at. Tentunya setelah al-Qur’an dan hadis.

Pola Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam Menetapkan Hukum Islam

Fiqh Ahmad ibnu Hanbal pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada al-Hadits al-Shahih, yang diambil hanyalah al-Hadits al-Shahih tanpa mau memperhatikan pada adanya faktor lainnya dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi jika ditemukan adanya beberapa fatwa para sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati al-Qur’an dan al-Hadits.


Imam Ahmad ibnu Hanbal termasuk “Ahl al-Hadits” dan bukan sebagai “Ahl Fiqh”, maka tempak dengan jelas bahwa “Al-Sunnah” sangat mempengaruhi dirinya dalam menetepkan hukum. Karena beliau termasuk Imam Rihalah, ada juga pengaruhnya dalam menghadapi berbagai macam perubahan keadaan yang sudah barang tentu jauh berbeda dari keadaan di masa Nabi SAW yang diketahuinya dari beberapa al-Hadits, khususnya yang berkaitan dengan al-Hadits al-Siyasah.


Dari faktor itulah, maka beliau dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan Mashlahah Mursalah dan Istihsan sebagai dasar hukumnya selama nash atau qaul al-Shahabat tidak ditemukan.


Sebagaimana tercermin pada pola pemikirannya yang sangat kuat dalam berpegang teguh kepada al-Hadits, bahkan hal tersebut menjadikan dirinya terlalu takut menyimpang dari ketentuan al-Hadits, begitu juga al-Atsar, mengingat posisinya sebagai ahl al-Hadits dan sebab dasar pijakan fiqhnya lebih banyak kepada al-Hadits.