klajian ke 5

Kajian ke 5

Kajian ke 5

oleh 2003401051053 WILDAN HASANI -
Jumlah balasan: 0

Pengertian ASWAJA tersebut dalam sejarah pemikiran Islam kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan vis a vis Mu’tazilah maupun Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah, bahwa kemunculan ASWAJA sebagai kelompok adalah lahir sebagai sebuah reaksi terhadap kelompok Mu’tazilah yang dianggap “sesat” karena terlalu mendewakan akal daripada wahyu. Dari benih perbedaan “peran akal” inilah yang kemudian berlanjut pada perbedaan di hampir seluruh problema teologis antara keduanya. Dan perlu diketahui, bahwa perbedaan itu berkisar pada persoalan-persoalan metafisik yang bersifat spekulatif dan relatif misalnya perbedaan tentang “apakah Tuhan itu bisa dilihat di akhirat nanti”, “apakah Tuhan punya tangan atau kekuasaan”, “apakah al-Qur’an itu qadim atau baru (hadis)”, dan seterusnya.


Itulah pengergian ASWAJA sebagai fenomena gerakan dalam sejarah pemikiran Islam. Kemudian secara spesifik lagi, NU membuat rumusan ASWAJA sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti salah satu imam al-Junaidi atau al-Ghazali.


Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran untuk menjadi pegangan hidup manusia termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau Sunnah Rasul. Al-Qur’an sebagai wahyu yang memuat ajaran-ajaran tidak bisa dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik pula. Di sini yang bisa menjelaskan dan menterjemahkan al-Qur’an secara tepat adalah Rasul itu sendiri. Oleh sebab itu pada saat Rasul masih hidup segala persoalan yang berkaitan dengan agama dapat dijelaskan oleh beliau, sebab apa yang diucapkan oleh Rasul adalah wahyu juga. Hadis atau sunnah sendiri berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk-petunjuk yang belum termaktub dalam al-Qur’an. Tetapi begitu Rasul meninggal maka persoalan agama menjadi pekerjaan rumah umat untuk bisa memahami sendiri melalui ijtihadnya masing-masing. Persoalan-persoalan yang muncul setiap kurun sangat beragam dan bertambah kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah. Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid atau aimmat al-mazhab, yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh imam mujtahid atau mazhab tersebut.


Dalam tradisi NU, bermazhab itu ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab secara manhaji. Bermazhab seara qauli adalah mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah mengikuti mazhab dari segi pola pikir (manhaj al-fikr), sebagai sebuah proses bukan produk.


Bermazhab scara qauli tidak selamanya bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum (produk hukum) oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst), sementara zaman terus berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.


Dalam era modern seperti sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan ASWAJA yang bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji, atau harus berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan hukum baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas --untuk tidak mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang menyangkut masalah fiqh.