Adapun pokok-pokok ajaran Abu> Hasan al-Asy’ary adalah sebagai berikut:
1. Zat dan sifat-sifat Tuhan Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan maslaha yang banyak dibicarakan oleha ahliteologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua teori yaitu: teori is\bat al-sifat dan naïf> al-sifat. Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti,mendengar, melihat dan berbicara. Teori inilah yang dianut oleh kaum Asy’ariyah.Sementara teori kedua mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli ahli falsafah. Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat di antaranya, al-‘ilm, alqudrat, al-sama’ al-bas}ar, al-hayah, iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan layukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur, alam tidak aka nada kecuali diciptakan oleh Allah yang memiliki
ilmu. Argumen ini antara lain diperkuat oleh firman Allah dalam QS. al-Nisa/ 4: 166.
Terjemahnya:
tetapi Allah menjadi saksi ats (al-Quran) yang diturunkan-Nya kepadamu
(Muhammad). Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya..26
Menurut al-Asy’ari ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengetahui
dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu z}at-Nya. Jika Allah mengetahui
dengan z}at-Nya, maka z}at-Nya itu merupakan pengetahuan. Dan mustahil al-‘ilm
(pengetahuan) merupaka ‘Alim (Yang Mengetahui), atau al’Alim (Yang Mengetahui)
merupakan al-‘ilm (pengetahuan) atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifatnya. Oleh
karena mustahil Allah mengetahui dengan z}at-Nya sendiri, karena dengan demikian
z}at-Nya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengeathuan. Allah bukan
pengetehuan (‘ilm) tetapi yang Mengetahui (‘Alim). Dengan demikian menurut alAsy’ari, Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah z}atNya.
Kaum Asy’ariyah juga meyakini akan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah,
seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Dalam hal ini alAsya’ariyah mengartikannya secara sombolis serta tidak melakukan takyif
(menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah), ta't}il (menolak bahwa
Allah punya wajah, tangan dan kaki ), tams\il (menyerupakan wajah, tangan dan kaki
Allah dengan sesuatu) serta tahrif (menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki
Allah dengan makna lainnya).27
Argument al-Asy’ariyah tersebut diperkuat dengan firman Allah, di antaranya
QS. Al-Rahman/55: 27.
Terjemahnya:
Tetapi wajah Tuhanmu yang memilki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.28
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa, dalam
paham Asy’ariyah sifat-sifat Allah adalah sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an
dan hadis\. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang sesuai dengan z}at Allah
sendiri dan sekali-kali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Allah melihat tidak
seperti makhluk. Begitu pula Allah mendengar tidak seperti makhluk. Bahkan alAsy’ariyah berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya
tanpa ditentukan bagaimananya (bila kaifa).
2. Kebebasan dalam berkehendak Pada dasarnya al-Asy'ari>, menggambarkan manusia sebagai seorang yang
lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan
kekuasaan absolut mutlak. Karena manusia dipandang lemah, maka paham alAsy'ari> dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) dari faham
3. Akal dan wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal
dan wahyu.Namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah memandang bahwa
mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk,
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat akal tanpa membutuhkan wahyu. Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua kewajiban agama manusia
hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut al-Asya’ariyah tidak
mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Wajib
mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan
dengan wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan
ketaatan.36 Dalil yang dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi argumen ini, karena itu, otoritas wahyulah dalam menjelaskan semua itu, atau dengan kata lain
lewat wahyulah semua kewajiban keagamaan manusia itu diketahui.antara lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra>’/17:
Terjemahnya:
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul37
Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam teologi Asy’ariyah,
institusi akal tidak memilki otoritas dalam mengetahui semua kewajiab manusia.