kajian ke 7

POKOK-POKOK PEMIKIRAN IMAM YANG EMPAT A. PEMIKIRAN IMAM YANG EMPAT 1. Pemikiran Imam Hanafi 2. Pemikiran Imam Malik 3. Pemikiran Imam Syafi'i 4. Pemikiran Imam Ahmad Bin Hambal

POKOK-POKOK PEMIKIRAN IMAM YANG EMPAT A. PEMIKIRAN IMAM YANG EMPAT 1. Pemikiran Imam Hanafi 2. Pemikiran Imam Malik 3. Pemikiran Imam Syafi'i 4. Pemikiran Imam Ahmad Bin Hambal

oleh 2003401051045 RODAH MATUR A MA -
Jumlah balasan: 0

Nama:rodah matur abdullah masjid aldensi 

Nim:300401051045

Kelas:L

. Pola Pemikiran Imam Abu Hanifah

Menurut sejarahwan, bahwa pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan 

Abbasiyyah, Abu Hanifah pernah ditawari beberapa jabatan resmi, seperti di Kuffah yang 

ditawarkan oleh Yazid bin Umar (pembesar kerajaan), akan teteapi Abu Hanifah 

menolaknya. Pada masa dinasti Abbasiyah, Abu Ja‟far al-Mansur pernah pula meminta 

kedatangannya di Baghdad untuk diberi jabatan sebagi hakim, namun ia menolaknya. 

Akibat penolakan itu ia penjarakan sampai meninggal dunia. 

Abu Hanifah hidup selama 52 tahun pada masa dinasti Umayyah dan 18 tahun pada 

masa dinasti Abbasiyah. Alih kekuasaan dari Umayyah yang runtuh kepada Abbasiyah 

yang naik tahta, terjadi di Kuffah sebagai ibukota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. 

Kemudian Baghdad dibangun oleh khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja‟fat al-Mansur (754 –

775 M), sebagai ibukota kerajaan tahun 762 M.12

Imam Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah 

seringkali mengajak bermunadarah,, membahas dan berunding, serta bertukar pikiran 

dengan para murid atau para sahabat beliau yang dekat, tentang masalah hokum qiyas, 

dengan cara bebas merdeka, dan para murid beliau pun mebantah dan menolak alas an-

alasan yang dikemukakan oleh beliau. Dalam hal ini beliau berkata: “Saya istihsan”. Yakni: 

“Saya mencari kebaikan”. Dengan demikian, para muridnya beliau lalu tunduk dan 

mengikuti keputusan beliau yang dikatakan dengan istihsan tadi.13

Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar 

di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi 

salah seorang ulama besar dan al-Ima>m al-A„z}am.. Di sisi lain ia merasakan kota Kufah 

sebagai kota terror yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Bashrah dan Kufah di 

Irak melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang: seperti ilmu sastera, teologi, tafsir 

fiqh, hadis dan tasawuf. Kedua kota bersejarah ini mewarnai intelektual Abu Hanifah di 

tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertentangan 

tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran 

Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar 

belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang 

ada.14

Abu hanifah dikenal sebagai ulama ahl al-ra‟yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik 

yang diistinbatkan dari al-Qur‟an ataupun hadis, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau 

mengutamakan ra‟yi daripada khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau 

menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.

Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri, 

“Sesungguhnya saya mengambil Kitab Suci al-Qur‟an dalam menetapkan hukum, apabila 

tidak didapatkan dalam al-Qur‟an, maka saya mengambil Sunnah Rasulullah SAW yang 

sahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya. Apbila saya tidak menemukan dari 

keduanya, maka saya mengambil pendapat orang-orang yang terpercaya yang saya 

kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai 

kepada Ibrahim al-Sya‟bi, Hasan ibn Sirin dan Sa‟id ibn Musayyab, maka saya berijtihad 

sebagaimana mereka berijtihad.15

Dalam kesempatan lain Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar 

hokum dalam al-Qur‟an, kalau tidak ada, saya cari dalam Sunnah Nabi, kalau juga tidak 

ada, saya pelajari fatwa-fatwa para Sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap ku

Pemikiran Imam Malik Tentang Hukum Islam


Para sejarawan muslim mengawali kajian sejarah hukum islam dari masa nabi walaupun merka sadar bentuk formalnya sebagai subjek kajian yang berdiri sendiri baru mulai beberapa waktu kemudian. [1] konon Pada tahun 610-632 Masehi, Arab yang dikepung imperium Persia-Sassanian dan Romawi-Byzantium dengan segala fenomenanya; barbarisme, sukuisme, kapitalisme jahiliyyah, paganisme, perbudakan, dan aturan-aturan hukum adat seperti diyat, qasamah, dhihar, ila`, poligami tanpa limit, konsep etik komunal muruwah (qishash), dan lain sebagainya, merupakan konteks sosio-historis terbumikannya 'firman-firman Tuhan.[2]
Firman-firman tuhan tersebut senantiasa turun secara gradual memberikan sinaran terhadap segala dimensi di Arab yang sedang mengalami dark age. Al-Qur`an dan Sunnah Nabi, yang pada gilirannya akan menjadi basis Fikih, bukanlah entitas yang berdiri sendiri dan terlepas dari realitas yang hidup dan senantiasa berubah-ubah, melainkan bertalian dengan fakta-fakta historis Arab dengan segala aspeknya; politik, sosial, dan budaya. Dialektika wahyu dengan realitas di satu sisi, dan dialektikanya dengan umat Islam di sisi lain, kemudian memunculkan inferensi hukum yang kelak disebut dengan nama ‘Fikih’Pada era kenabian, otoritas tasyri’ sepenuhnya dipegang oleh Rasul dengan bimbingan wahyu. Jika muncul problematika, baik bersifat vertikal-teosentris maupun horisontal-antroposentris, para sahabat dapat langsung mengadu kepada Rasulullah. Untuk merespon realitas tersebut, biasanya wahyu turun. Pada periode Makkah, Rasul lebih berkonsentrasi menanamkan monoteisme dan ajaran-ajaran universal. Seiring terus berlangsungnya 'firman spiritual' yang turun secara gradual, visi dan misi Muhammad saw. terus berevolusi pada periode Madinah yang ditandai dengan pembumian hukum-hukum partikular-kontekstual.[3]
Harus ditegaskan, peran Nabi dalam mengartikulasikan 'pesan Tuhan' pada saat itu adalah jaminan mengapa para sahabat belum membutuhkan metodologi interpretasi sejauh apa yang kelak diformulasikan oleh ushuliyyin. Modal utama untuk menyeruput pesan Tuhan yang dimiliki sahabat hanyalah kompetensi linguistik dan insting natural yang belum terformat secara metodologis-sistematis.

Ada beberapa varian teori terkait penelitian hukum islam sebagai berikut:
1.     Teropong sosio-historis. Upaya ini amat signifikan guna memotret proses pembentukan formatif nalar Fikih dan perjalanan teks Fikih dari huruf ke realitas, dari logos ke praksis, dan dari tekstual-a historis ke kontekstual-historis. Mahmud Isma’il merupakan pemikir kontemporer yang gigih mengaplikasikan teori ini.
2.     dalam menganalisis historisitas nalar Fikih ini, nampaknya ada beberapa pendekatan yang relevan. Albert Hourani ( penulis sejarah pemikiran liberal Arab), menawarkan dua opsi pendekatan: pertama, pendekatan taksonomis, yakni uraian sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Di sini, fenomena pemikiran didekati lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan madzhab pemikiran kedua, pendekatan biografis yang menitikberatkan pada sejarah pemikir.[4]
3.     Abid al-Jabiri menawarkan pendekatan ‘interkoneksi’ Pendekatan ini mengandaikan telaah sosio-historis terhadap displin ilmu secara multi-disipliner. Sejarah Fikih harus dikaitkan dengan sejarah gramatika Arab, hadits, teologi, filsafat, dan seterusnya, karena pada kenyataan konkret seorang pakar hukum klasik sekaligus pakar linguistik, teolog, pakar hadits, filosof, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya. Seperti Ghazali (450H-505 H/1058-1111 M), misalnya, ia adalah ahli hukumnya para filosof, sementara Ibn Rusyd (Averroes, w. 1198 M) dan Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M) merupakan filosofnya para fuqaha.[5]
4.     pendekatan ‘sejarah epistemik’ Mohammed Arkoun, seorang pemikir reformatif-dekonstruktif. Sebagai sejarahwan pemikir yang banyak terpengaruhi oleh gerakan post-strukturalis Prancis, Arkoun menegaskan bahwa historiografi sejarah disiplin ilmu seharusnya tidak menggunakan klasifikasi periodik (taqsim al-zamani), melainkan memakai pelacakan arkeologis terhadap lapisan-lapisan geologis epistemologi pemikiran. Penulisan sejarah pemikiran, tak terkecuali Fikih, seyogyanya memperhatikan lompatan-lompatan epistemologi, sebab, dalam realitas teoretis-diskursif, pemikiran bukahlah konstruksi yang rigid, statis, kaku dan kontinu, melainkan senantiasa memiliki pergerakan-pergerakan, mutasi-mutasi, pergeseran-pergeseran, dan ketidakajegan (diskontinuitas) episteme.
Salah satu varian teori pendekatan adalah sosio-historis. Upaya ini amat signifikan guna memotret proses pembentukan formatif nalar Fikih dan perjalanan teks Fikih dari huruf ke realitas, dari logos ke praksis, dan dari tekstuala historis ke kontekstual-historis. Agar supaya Fikih hanya akan bermakna secara objektif jika diposisikan secara kontekstual. Ketika teks-teks Fikih terlepas dari author-nya, ia tidak lagi bermakna kecuali sekadar bundelan kertas yang dikoleksi perpustakaan. Untuk menghindari kumpulan teks-teks Fikih menjadi 'benda-benda arkeologis', maka dalam perspektif ini, ia membutuhkan teropong sosio-historis. Upaya ini amat signifikan guna memotret proses pembentukan formatif nalar Fikih dan perjalanan teks Fikih dari huruf ke realitas, dari logos ke praksis, dan dari tekstual-a historis ke kontekstual-historis.Pendekatan inilah yang dijadikan pijakan dalam pembahasan ini. Dengan demikian, pembahasan makalah ini bertujuan untuk mengkaji sejarah hidup dan pemikiran Imam malik.

POLA PEMIKIRAN IMAM SYAFI’I DALAM

MENETAPKAN HUKUM ISLAM

Oleh : Drs. Abdul Karim, M.Ag

(Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Alauddin Makassar)

Abstract

Imam Shafi'i is a mujtahid/scholar who has created a 

masterpiece in the world of Islam. He is the first 

composer who determine the ushul fiqh as a 

discipline that can be used to Islamic law students.

He is popular as a moderate thinkir where his 

thought that combining between who emphasise their

thought in al-ra'y (logocal view) and

sunnah/traditions. His main work in the field of 

jurisprudence, namely al-Risala and al-Umm. Imam 

Shafi’i’s thoght/ijtihad finally was formed as a 

mazhab in Islamic law/fiqhi.

 Kata Kunci: Islamic law, Mujtahid, and Moderate 

I. Pendahuluan

ejarah telah membuktikan bahwa Imam Syafi’i adalah pembangun 

ilmu usul fiqh. Meskipun para mujtahid sebelumnya dalam berijtihad 

terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang 

tersusun dalam sebuah buku sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat dipedomani 

oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi’i 

tampil berperan menyusun sebuah buku usul fiqh yang kemudian dikenal 

dengan al-Risalah.

Pada zaman Nabi, sahabat dan tabi’in tidaklah dibutuhkan kaedah-

kaedah atau Peraturan-peraturan dalam mengolah al-Qur’an dan hadits dalam 

rangka mengeluarkan hukum dari dalamnya, karena sahabat-sahabat Nabi dan 

para tabi’in adalah orang-orang yang sempurna berbahasa Arab, mengetahui 

sebab-sebab turunnya ayat dan hadis dan dalam persoalan mereka dapat 

menanyakan Langsung kepada Nabi.

Tetapi sesudah 200 tahun dari wafatnya Nabi, orang-orang yang masuk 

Islam bukan saja dari kalangan orang Arab tetapi juga orang-orang di luar Arab 

yang tidak mendalam pengertiannya tentang simpang siur syari’at yang ada 

dalam Qur’an dan hadis. Sehingga dibutuhkan kaedah-kaedah atau peraturan-

peraturan dalam rangka memahami al-Qur’an dan hadis yang dinamakan usul

Pemikiran Ibn Hambal Tentang Hukum Islam


Islam adalah agama yang sempurna, Islam mengatur seluruh aspek dan sendi-sendi kehidupan para pemeluknya, hal itu tercakup dalam kitab suci umat Islam yang menjadi pedoman dan rujukan terhadap setiap fenomena serta permasalahan yang muncul, yakni al-Qur'an dan al-Hadis sebagai representative dari al-Qur'an itu sendiri, namun aturan yang terdapat dalam al-Quran maupun al-Hadis tersebut masih bersifat global belum menyentuh terhadap permasalahan yang parsial, sehingga zaman sekarang ini banyak bermunculan permasalahan tentang kebenaran hukum-hukum Islam, hal ini lebih disebabkan oleh adanya interpretasi terhadap nash al-Qur'an maupun al-Hadis yang berbeda serta kemungkinan adanya perbedaan metode intinba>t} hukum yang dilakukan.
Fenomena yang demikian itu, mengakibatkan munculnya perdebatan-perdebatan di kalangan masyarakat yang fanatik terhadap aliran / madzhab tertentu terhadap permasalahan yang hakikatnya bukan permasalahan substansial.
Adapun yang perlu menjadi perhatian, bahwasanya para Imam Mazhab memiliki metode istinba>t} hukum tersendiri dalam menetapkan suatu hukum, walaupun dasar yang digunakan adalah sama, yakni  al-Qur’an, as-Sunnah. namun apabila dalam suatu masalah tidak ada penyelesaian hukum di dalam keseluruhan dasar hukum tersebut, maka mereka berijtihad untuk mencari penyelesaian hal tersebut, maka dalam ijtihad inilah terjadi penetapan hukum yang berbeda, dikarenakan masing-masing Imam menggunakan metode yang berbeda.
Jadi, pembahasan ini menjadi penting adanya sebagai bahan tela’ah serta khazanah pengetahuan tentang metode serta gaya khas seorang ulama’ mazhab Sekaliber imam ahmad bin hambal agar dimaksudkan pembaca mampu memahami corak serta style istinba>t} yang dilakukannya.

Pemikiran Hukum Islam
Ahmad menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Hal ini juga bisa diketahui dari kata-kata Ahmad ibn Hanbal ketika beliau sudah menjadi Imam yang besar. Apabila saya ditanya tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadis dan atsar para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada pendapat Imam Syafi’i. Imam Ahmad mendirikan mazhabnya atas lima dasar, yaitu:[25]
1.      Nash al-Qur'an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam al-Qur'an dan Sunnah, beliau berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat, makna yang tersiratnya beliau abaikan.
2.      Fatwa sahabat yang tidak ada pertentangannya. Apabila dalam al-Qur'an dan Sunnah tidak beliau dapatkan, beliau memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3.      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, beliau memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah.
4.      Menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas. Jika tidak didapatkan hukum suatu masalah dalam fatwa-fatwa sahabat, maka hadis mursal diterimanya dalam menentukan suatu hukum. Bukan saja hadis mursal s}ah}a>bi>, tetapi juga hadis mursal al-ta>bi’i>. Bagi Imam Ahmad, kedua bentuk hadis mursal tersebut dapat diterima sebagai sumber hukum bila hukum suatu masalah tidak dapat ditemukan dalam sumber-sumber tersebut di dalamnya. Adapun hadis daif menurut Imam Ahmad adalah perawinya yang belum mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta. Dalam hal ini ungkapannya yang terkenal adalah: ˮBerpegang kepada hadis daif lebih aku sukai daripada berfatwa dengan mengandalkan rasioˮ. Beliau berpegang kepada hadis daif selama tidak menyangkut masalah-masalah hukum, tetapi beliau  menerima hadis-hadis daif yang berkaitan dengan keutamaan amaliah.
5.      Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan dalam al-Qur'an, Sunnah, fatwa sahabat, hadis mursal dan hadis daif maka beliau menggunakan qiyas. Dalam pandangannya, qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Ahmad tidak menyebutkan ijma’, al-mashalih al-musalahistihsanadz-dzari’ah, dan istishab yang sudah sangat populer bagi semua fuqaha’ Hanabilah yang tersebut dalam buku-buku mereka.